Wednesday, October 29, 2014

Kredit Syari’ah

Apa yang dimaksud dengan Kredit Syari’ah?

Terkait dengan kredit syari’ah, sebelum mengkajinya lebih jauh, tentu harus dipahami terlebih dahulu terminologi kredit. Untuk itu, berikut adalah defisinisi kredit yang dikutif dari kamus besar bahasa Indonesia.

Kredit Adalah:

“1 cara menjual barang dng pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur); 2 pinjaman uang dng pembayaran pengembalian secara mengangsur; 3 penambahan saldo rekening, sisa utang, modal, dan pendataan bagi penabung; 4 pinjaman sampai batas jumlah tertentu yg diizinkan oleh bank atau badan lain; 5 sisi kanan neraca (di Indonesia);”

Secara umum, istilah kredit bisa dipahami sebagai sebuah mekanisme pembayaran yang dilakukan secara bertahap/berangsur, baik objeknya berupa barang maupun uang. Mekanisme pembayaran seperti ini, sudah sangat lazim terjadi di masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah mekanisme pembayaran seperti ini sesuai dengan ketentuan syari’ah atau tidak? Salah satu ayat yang berkaitan dengan tema yang sedang dikaji ini ada dala QS. Al Baqarah [2] ayat 275, dalam ayat tersebut dikatakan bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Jual beli dengan riba, pada dasarnya sama. Yaitu salah satu pihak mengharapkan kelebihan dari apa yang mereka transaksikan. Akan tetapi, dalam konteks jual beli, kelebihan tersebut merupakan margin keuntungan yang diimbangi dengan usaha serta nilai manfaat dari barang yang diperjual belikan. Sedangkan dalam konteks riba, kelebihan tersebut tidak diimbangi dengan transaksi penyeimbang. Misalnya, meminjam ayam, kemudian orang yang meminjamkan ayam tersebut mensyaratkan untuk mengembalikan ayam yang dipinjam, ditambah dengan 1 ekor anak ayam. Pinjam meminjam, pada dasarnya dilakukan dalam bingkai tolong menolong. Pengembalian barang yang dipinjamkan dengan menambah syarat tertentu tidak sesuai dengan nilai yang terkandung dalam ayat di atas. Maka dari itu, mengapa jual beli itu boleh, sedangkan riba haram.
Mekanisme pembayaran dengan cara diangsur, pada dasarnya tidak ada nash yang melarangnya. Akan tetapi, pada prakteknya, ada upaya yang mengarah pada indikasi aktivitas ribawi. Contoh, ketika meminjam uang di bank, maka cicilan yang harus dibayar tiap bulan adalah akumulasi cicilan bulanan ditambah dengan bunga. Lalu mengapa dalam bank syari’ah, tambahan tersebut tidak masuk dalam kategori bunga? Padalah sama-sama ada kelebihan dari pokok pinjaman? Mari kita urai perbedaannya pada sub tema di bawah!

Perbedaan Kredit Syari’ah dengan Kredit Konvensional

Contoh 1:
A meminjam uang kepada Bank konvensional untuk membeli kendaraan roda 4 senilai 200jt, dengan bunga sebesar 1% / bulan. Pembayaran dilakukan sebanyak 36x cicilan, sesuai dengan kesepakatan.
Contoh 2:
B mengajukan pembiayaan kepada bank syari’ah untuk membeli kendaraan roda 4, dengan spesifikasi tenterntu, senilai 200jt dengan margin keuntungan 20jt. Pembayaran dilakukan sebanyak 36x cicilan.
Apa yang membedakan kedua contoh di atas? Contoh 1, bank mendapat kelebihan dana berupa % bunga. Sedangkan pada contoh 2, bank mendapat margin keuntungan sebesar 20jt. Secara kasat mata, kedua contoh di atas sama-sama mengandung unsur kelebihan dari pokok. Akan tetapi, secara syar’i, contoh pertama merupakan contoh dari aktivitas ribawi yang diharamkan Islam.  Dalam Islam, uang bukan alat komoditas. Imam al Ghazali mengatakan bahwa "uang itu seperti cermin, dia tidak memiliki warna, akan tetapi bisa merefleksikan seluruh warna. uang merupakan alat ukur, sehingga dia tidak bisa dan tidak perlu dinilai".
Contoh kedua merupakan contoh aktivitas jual beli dan dibolehkan dalam Islam. Konsekuensi dari contoh nomor 2 adalah harus ada perpindahan kepemilikan terlebih daruhu dari pihak produsen/penjual kepada pihak bank. Baru pihak bank menjual kembali kepada danasah yang mengajukan permohonan. Dalam konteks jual beli, berapapun margin keuntungan dalam sebuah transaksi, tidak dilarang selama melalui mekanisme yang sesuai dengan syari’ah, serta didasarkan pada rasa saling ridho. Dari contoh ini, maka perbedaan antara kredit syari’ah dengan kredit konvensional adalah:
1. Dalam kredit syari’ah, kelebihan didasarkan pada margin keuntungan. Sedangkan dalam kredit konvensional, didasarkan pada bunga.
2. Kredit syari’ah, berbasis pada mekanisme jual beli. Sedangkan kredit konvensional, berbasis pada bunga / riba.
3. Kredit syari’ah, yang menjadi pokok dalam transaksi adalah barang. Sedangkan dalam kredit konvensional, yang menjadi pokok transaksinya adalah jumlah uang.

Mengapa Kredit Syari’ah halal sedangkan Kredit Konvensional itu haram?

Untuk memaparkan sub judul ini, cukup dengan mengulang sedikit pemaparan yang telah diuraikan di atas. Mengapa kredit syari’ah itu halal, karena memang dalam kredit syari’ah berbasis pada model transaksi jual beli, hanya saja pembayaran dilakukan dengan cara cicilan dalam tempo tertentu. Mengapa kredit kovensional diharamkan? Karena memang dalam kredit konvensional, basis operasionalnya adalah pinjaman uang yang ditambah dengan unsur bunga. Dimana para ulama telah bersepakat bahwa bunga bank merupakan riba yang diharamkan dalam Islam.
Semoga tulisan ini bisa mengubah paradigma mengenai apa itu kredit, bagaimana kredit yang sesuai dengan syari’ah. Bagi para pembaca yang memiliki akses serta kemampuan untuk ikut mengontrol kesyari’ahan bank syari’ah, melalui tulisan ini semoga bisa memanfaatkan kemampuannya untuk menjaga bank syari’ah agar tetap syar’i.

....Baca Selengkapnya

Wednesday, October 8, 2014

Bank Syari'ah tidak Dicontohkan Rasulullah

Bismillahirrahmaanirrahim,,,,
"Bank Syari'ah tidak Dicontohkan Rasulullah"
Apakah pernyataan tersebut bisa dipertanggungjawabkan? Mari kita elaborasi! Sebelum mengkaji mengenai maksud dari pernyataan di atas, ada sebuah ilustrasi sederhana. Kemungkinan besar, kita sudah tau makanan yang dinamai siomay. Bagaimana sejarahnya? Konon, siomay berasal dari negeri tiongkok. Siomay merupakan makanan rumahan di tiongkok sana. Bahan dasar utamanya adalah daging babi. Ya, betul. Daging babi! Awal masuk ke Indonesia, siomay masih berbahan dasar daging babi. Saat itu, Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas muslim, tentu tidak dapat menerima siomay karena mengandung bahan tidak sesuai dengan syari'at Islam. Agar diterima, kemudian siomay dimodifikasi sedemikian rupa hingga akhirnya lahir siomay seperti yang kita kenal saat ini. Sekarang, siapapun bisa makan siomay. Bentuknya sama, rasanya enak, tetapi berlabel halal karena memang sudah dimodifikasi.
Bank Syari'ah tidak dicontohkan Rasulullah
Bagaimana pola perubahan dari siomay yang haram dimakan, supaya bisa dimakan?
1. Mengurai unsur-unsur yang ada dalam siomay.
2. Mengidentifikasi masing-masing unsur menggunakan alat ukur nilai-nilai Islam.
3. Substitusi unsur yang haram dengan unsur lain yang secara fungsi sama (daging babi diganti dengan ikan).
4. Membuat kembali siomay yang telah menggunakan komposisi baru, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari'ah.
Apa hubungannya siomay dengan Bank Syari'ah? Mungkin itu yang terbersit. Baik, mari kita urai satu per satu. Melalui sejarah singkat siomay "syari'ah" di atas, kita bisa mengetahui alur mengenai sebuah proses modifikasi sesuatu yang tadinya haram menjadi halal. Pola inilah yang nantinya digunakan untuk menjelaskan mengenai Bank Syari'ah yang saat ini dituding hanya pelabelan saja.
Ada 3 metode dalam proses pengembangan bank syari'ah. Adopsi, Adaptasi dan Modifikasi. Sebelum membahas 3 motode ini, kiranya peru disepakati terlebih dahulu bahwa faktanya tidak ada lembaga bank syari'ah pada zaman Rasullullah. Secara kelembagaan, tentu ini merupakan jawaban atas kegelisahan akademik mengenai pernyataan bahwa Bank Syari'ah tidak dicontohkan Rasulullah. Akan tetapi, secara fungsional, fungsi-fungsi utama lembaga bank syari'ah telah lazim berjalan pada zaman Rasulullah. Meskipun demikian, mengingat bahwa bank syari'ah merupakan wilayah kajian mu'amalah, dimana dalam hal mu'amalah ada kaidah ushuli yang menyatakan bahwa pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya. Lembaga Bank Syari'ah, boleh dilerstarikan jika didalamnya tidak ada unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah.
Kembali pada 3 metode dalam proses pengembangan bank syari'ah. Ketergantungan manusia terhadap dunia perbankan dalam konteks ekonomi modern, tentu sudah pada tahap yang bisa dikatakan sangat ketergantungan. Akan tetapi, dalam sistem perbankan mainstrean, menggunakan sistem bunga yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah. Karenanya, bagi umat Islam, haram hukumnya menggunakan jasa bank yang menggunakan sistem ribawi. Agar bisa dimanfaatkan oleh umat Islam, maka upaya yang dilakukan adalah dengan cara mengurai unsur-unsur dalam sistem perbankan modern untuk mengidentifikasi hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah. Setelah diketahui, unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah dihilangkan dan diganti dengan mekanisme yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah, hingga akhirnya lahirlah bank yang secara fungsi sama, manfaat sama, akan tetapi bebas dari unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah. Misalnya, untuk hal-hal produktif bank syari'ah memiliki produk pembiayaan berbasis bagi hasil. Untuk hal konsumtif, bank syari'ah memiliki produk pembiayaan berbasis ijarah. Serta banyak lainnya.
Kesimpulannya, betul bahwa lembaga bank syari'ah tidak dicontohkan oleh Rasulullah. Akan tetapi, bank syari'ah ini masuk wilayah kajian muamalah yang pada dasarnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah. Karenanya, tidak ada masalah dengan bank syari'ah baik secara mekanisme modern maupun secara syar'i. Dalam hal ini, sistem perbankan syari'ah merupakan sistem perbankan modern, yang telah dimodifikasi agar bisa bermanfaat bagi umat Islam, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah.

....Baca Selengkapnya

Thursday, October 2, 2014

Perbedaan Antara Lembaga Keuangan Bank Syari'ah dengan Lembaga Keuangan Bank Umum Konvensional

Setelah mengkaji mengenai lembaga keuangan bank syari'ah, mulai dari pengertian bank syari'ah yang secara umum sama, akan tetapi berbeda dalam tataran implementasi dimana bank syari'ah dibingkai dengan prinsip-prinsiP kesyari'ahan (lihat: pengertian bank syari'ah). Sejarah bank syari'ah di Indonesia yang dilihat dari pendekatan regulasi, dimana hingga saat ini, regulasi tentang bank syari'ah di Indonesia telah mencapai puncaknya, yaitu pada UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari'ah (lihat: sejarah bank syari'ah di Indonesia), fungsi bank syari'ah yang ternyata memiliki perbedaan dengan fungsi bank konvensional (baca: fungsi bank syari'ah), hingga kajian mengenai prinsip-prinsip dalam bank syari'ah yang diuraikan melalui 3 indikator utama, walaupun mungkin ada indikator lain sesuai dengan perkembangan zaman (baca: prinsip-prinsi dalam bank syari'ah), kiranya bisa ditarik benang merahnya, untuk menunjukan perbedaan antara bank syari'ah dengan bank konvensional. Berikut adalah perbedaan antara bank syari'ah dengan bank konvensional, yang didasarkan pada kajian sebelumnya:
1. Secara definitif, bank syari'ah dengan bank konvensional memiliki kesamaan. Akan tetapi, bank syari'ah memiliki keunikan pada tataran operasional, dimana harus selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syari'ah. Hal ini tentu memiliki implikasi pada keragaman produk, yang disesuaikan dengan prinsip syari'ah.
2. Dilihat dari sisi fungsi, pada dasarnya ada kesamaan antara bank syari'ah dengan bank konvensional. Akan tetapi, pada bank syari'ah memiliki kekhasan yaitu memiliki fungsi tambahan yaitu fungsi sosial, sesuai dengan yang tertera dalam UU No 21 Tahung 2008 tentang Perbankan Syari'ah.
3. Dari berbagai perbedaan yang telah dipaparkan, perbedaan utamanya yaitu terletak pada prinsip-prinsip dalam bank syari'ah. Prinsip-prinsip inilah yang secara "lahir batin" menjadi faktor utama yang membedakan antar bank konvensional dengan bank syari'ah. Selain menjadi pembeda, prinsip ini pula yang menyebabkan mengapa dalam kacamata Ekonomi Islam, bank konvensional itu haram dan bank syari'ah itu halal, terlepas dari perbedaan pendapat yang ada.
....Baca Selengkapnya

Prinsip-Prinsip dalam Lembaga Keuangan Bank Syari'ah

Dari pembahasan mengenai pengertian bank syari'ah, bisa dikatakan pada dasarnya bank syari'ah memiliki fungsi yang sama seperti halnya bank konvensional. Yang membedakannya adalah implementasi nilai-nilai syari'ah dalam operasionalnya. Dilihat dari sejarahnya, fungsi bank ternyata bersifat dinamis. Dari zaman ke zaman, sempat mengalami perubahan. Akan tetapi, dilihat dari sejarah bank syari'ah di indonesia, mungkin fungsi bank sudah sampai pada tahap yang kompleks, sehingga tidak terdapat banyak perubahan secara mendasar mengenai fungsi bank (lihat: fungsi bank syari'ah). Untuk konteks Indonesia, bisa dikatakan bahwa sejarah bank syari'ah di Indonesia lebih pada penguatan regulasi mengenai lembaga perbankan syari'ah (sumber: sejarah bank syari'ah di Indonesia).
Prinsip-Prinsip dalam Bank Syari'ah

Dalam UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari'ah dinyatakan bahwa
"bank syari'ah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah." (sumber: pengertian bank syari'ah)
Prinsip syari'ah dalam bank syari'ah merupakan pondasi utama operasional bank syari'ah. Pada dasarnya, prinsip yang melandasi dalam operasional perbankan syari'ah terdiri dari 3 poin yaitu tidak mengandung unsur maysir, gharar, dan riba. Pada dasarnya, inilah poin penting dalam sebuah tatanan sistem Ekonomi Islam.

Lembaga keuangan bank syari'ah tidak boleh mengandung unsur Maysir

Kata Maysir dalam bahasa Arab yang berarti mudah, kaya, lapang.  Jika dikaitkan dengan makna yang dimaksudkan sebenaranya, maka maysir adalah cara untuk mendapatkan uang dengan mudah; atau cara menjadi kaya dengan mudah  tanpa harus melakukan jerih payah yang lazim dilakukan secara ekonomis. Berikut ini adalah beberapa buah pikir dari beberapa pemikir Islam:
"Afdzalur rahman mendefiniskan bahwa judi adalah mendapatkan sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja"
"Imam Al-aini menyatakan bahwa maysir  adalah semua bentuk qimar  (taruhan), jika taruhan  itu tidak menggunakan uang maka hal itu merupakan perbuatan sia-sia yang tidak bermanfaat, jika menggunakan uang  atau sejenisnya  maka hal itu berarti judi : “Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang mengguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian terte"
"peraturan Bank Indonesia  No  7/46/PBI/2005 dalam penjelasan  pasal 2 ayat 3 menjelaskan bahwa  maysir  adalah  transaksi  yang mengandung perjudian, untung-untungan  atau spekulatif yang tinggi"

Lembaga keuangan bank syari'ah tidak boleh mengandung unsur Gharar

Secara bahasa, Gharar berarti risiko, ketidakpastian. Ibn Taymiyah mengatakan bahwa Gharar adalah:
"things with unknown fate, sehingga selling such things is maysir or gambling"
Sedangkan menurut ibn Qayyim, gharar merupakan:
"Mungkin ada mungkin tidak. Jual belinya dilarang karena merupakan bentuk perjudian"
Mengenai ketidak pastian, bisa diklasifikasikan menjadi 3 jenis. Risk (resiko), Structural Uncertainty (ketidakpastian struktural/terpola), dan Unknownable (tidak dapat diketahui). Dan gharar yang diharamkan masuk dalam kategori yang ketiga. Bisa dikatakan, gharar itu pure spekulasi. Contoh gharar yang terjadi pada zaman Rasulullah diantaranya jual beli hashah (melempar batu kecil), dhaebatul ghawwash (tebakan selam), nitaj (jual beli susu dalam kantung susu), mulasamah (menyentuh=membeli), muzabanah (jual beli kurma yang masih di pohon), dll.

Lembaga keuangan bank syari'ah tidak boleh mengandung unsur Riba

Secara bahasa, riba artinya tambahan, tumbuh, dan membesar. Definisi operasional riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ibnu Al Arabi Al Maliki (dalam Ahkam Al Qur’an) menyatakan bahwa:
"riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah."
Maksud transaksi penyeimbang disini adalah transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. 
Secara konvensional, transaksi simpan-pinjam dana, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Hal yang dinilai tidak adil di sini adalah si-peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Dana tidak berkembang dengan sendirinya. Sedangkan dalam mengusahakan harta, selalu ada untung dan rugi. 
....Baca Selengkapnya

Fungsi Lembaga Keuangan Bank Syari'ah

Fungsi Lembaga Keuangan Bank Syari'ah
Baik dalam artikel mengenai pengertian bank syari'ah (lihat: pengertian bank syari'ah) maupun sejarah bank syari'ah di Indonesia (lihat: sejarah bank syari'ah di Indonesia), telah disinggung mengenai fungsi lembaga keuangan bank syari'ah. Pada dasarnya, fungsi lembaga keuangan bank syari'ah adalah sebagai lembaga intermediasi yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Hal ini sesuai dengan UU No 21 Tahung 2008 tentang perbankan syari'ah, poin 1 pasal 4 pada Bab II tentang asas, tujuan dan fungsi bahwa:
"Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat"
Akan tetapi, ada fungsi lain yang membedakannya dengan bank konvensional, dimana fungsi ini tidak ada dalam reguasi tentang fungsi bank konvensional. Fungsi lain bank syari'ah adalah fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul maal, tepatnya menetrima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya untuk kemudian disalurkan melalui organisasi pengelola zakat. Penyataan ini sesuai dengan  UU No 21 Tahung 2008 tentang perbankan syari'ah, poin 2 pasal 4 pada Bab II tentang asas, tujuan dan fungsi bahwa:
"Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat."
Dalam poin berikutnya tercantum pernyataan bahwa bank syari'ah juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf. Berikut adalah pernyataannya:
"Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif)."
Dari beberapa pernyataan terkait dengan fungsi lembaga keuangan bank syari'ah, tentu sudah nampak perbedaan yang sifatnya substantif. Selain terkait dengan fungsi, masih banyak perbedaan lainnya, terutama jika dilihat dari prinsip-prinsip dalam bank syari'ah (lihat: prinsip-prinsip dalam bank syari'ah) sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam. Mari kita kaji apa saja yang membedakan antara bank syari'ah dengan bank konvensional, dilihat dari prinsip-prinsip dalam bank syari'ah pada.

....Baca Selengkapnya

Wednesday, October 1, 2014

Sejarah Singkat Perbankan di Indonesia

sejarah bank syari'ah di Indonesia
Sebelum masuk pada ini pembehasan mengenai sejarah singkat perbankan di Indonesia, berikut adalah sedikit kutipan yang diambil dari wikipedia[dot]com, mengenai sejarah bank.
"Bank pertama kali didirikan dalam bentuk seperti sebuah firma pada umumnya pada tahun 1690, pada saat kerajaan Inggris berkemauan merencanakan membangun kembali kekuatan armada lautnya untuk bersaing dengan kekuatan armada laut Perancis, akan tetapi pemerintahan Inggris saat itu tidak mempunyai kemampuan pendanaan kemudian berdasarkan gagasan William Paterson yang kemudian oleh Charles Montagu direalisasikan dengan membentuk sebuah lembaga intermediasi keuangan yang akhirnya dapat memenuhi dana pembiayaan tersebut hanya dalam waktu duabelas hari.
Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada zaman kerajaan tempo dulu di daratan Eropa. Kemudian usaha perbankan ini berkembang ke Asia Barat oleh para pedagang. Perkembangan perbankan di Asia, Afrika dan Amerika dibawa oleh bangsa Eropa pada saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika maupun benua Amerika. Bila ditelusuri, sejarah dikenalnya perbankan dimulai dari jasa penukaran uang. Sehingga dalam sejarah perbankan, arti bank dikenal sebagai meja tempat penukaran uang. Dalam perjalanan sejarah kerajaan pada masa dahulu penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan yang satu dnegan kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal dengan nama Pedagang Valuta Asing (Money Changer).Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Berikutnya kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang. Uang yang disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali kepada masyarakatyang membutuhkannya. Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam."
Di Indonesia, sejarah perkembangan bank tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah Hindia Belanda. Setelah merdeka, maka muncul inisiatif untuk nasionalisasi bank-bank bekas penjajah menjadi bank milik pemerintah. Upaya nasionalisasi ini merupakan langkah serius pemerintah untuk mengurangi potensi-potensi yang dapat merugikan negara, reutama dilihat dari sisi solvabilitas dan likuiditas bank-bank tersebut. Bahkan, keseriusan pemerintah pada saat itu didukung dengan ditetapkan dalam UU No. 86/1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan belanda. Sekian waktu berlalu, setelah berhasil melakukan upaya nasionalisasi bank, pada tahun 1988 lahir regulasi baru mengenai dunia perbankan yang isinya memberi keleluasaan swasta untuk mendirikan bank. Terkait dengan bank syari'ah, pada tahun 1992 terjadi perubahan UU Perbankan dari No. 14 tahun 1967 menjadi UU Perbankan No. 7 Tahun 1992, dimana didalamnya memuat tentang ketentuan bank bagi hasil. Ini merupakan bagian dari sejarah lahirnya bank syari'ah. Pada tahun 1998 dilakukan revisi UU No. 7 tahun 1992 secara khusus menjadi UU No. 10 tahun 1998 yang didalamnya memuat ketentuan mengenai bank syari’ah secara kelembagaan. Puncak sejarah mengenai regulasi perbankan syari'ah adalah UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syari'ah. Sebagai bagian penting dalam sebuah sistem Ekonomi Syari'ah, regulasi mengenai Bank Syari'ah merupakan mata rantai yang tidak dapat terpisahkan.
Dari sini bisa kita ketahui mengenai dinamika perkembangan bank pada umumnya, dan perkembangan regulasi bank syari'ah pada khususnya. Setelah memahami pengertian bank syari'ah, sejarah bank syari'ah di Indonesia, untuk memahami lebih dalam mengenai lembaga keuangan bank syari'ah, mari kita kaji prinsip-prinsip dalam lembaga keuangan bank syari'ah (lihat : prinsip-prinsip dalam lembaga keuangan bank syari'ah).
....Baca Selengkapnya

Definisi Lembaga Keuangan Bank Syari'ah

lembaga keuangan bank syari'ah adalah
"bank adalah badan usaha di bidang keuangan yg menarik dan mengeluarkan uang dl masyakarat, terutama memberikan kredit dan jasa dl lalu lintas pembayaran dan peredaran uang"
Kutipan di atas adalah definisi bank yang diambil dari kamus besar bahasa Indonesia. Dari definisi di atas bisa dipahami bahwa aktifitas utama bank adalah menarik dan mengeluarkan uang dari dan untuk masyarakat. Untuk apa? Yaitu dalam rangka memberikan kredit/pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan. Selain untuk di kreditkan kepada masyarakat, aktifitas bank juga bisa bermanfaat untuk mempermudah lalulintas pembayaran dan peredaran uang. 
Berikut adalah definisi lain mengenai bank, yang dikutip dari Undang-undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dana mengeluarkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit, dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”
Definisi bank menurut Undang-undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan relatif lebih spesifik. Secara substansif, tidak ada perbedaan yang signifikan dengan definisi sebelumnya yang diambil dari kamus besar bahasa Indonesia. Dalam definisi ini disebutkan bahwa aktifitas menarik uang dalam bentuk simpanan, kemudian menyalurkannya dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya. Semua itu dalam bingkai peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Berikut adalah definisi lain mengenai bank yang dikutif dari buku Manajemen Perbankan, ditulis oleh Dendawijaya dan Lukman (2003: 25):
Bank adalah suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries), yang menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang kekurangan dana pada waktu yang ditentukan”
Definisi ini sedikit berbeda dengan 2 definisi sebelumnya. Dendawijaya dan Lukman menggunakan istilah lain. Akan tetapi, maknanya sama dengan 2 definisi sebelumnya. Dalam hal ini, bank memiliki tugas sebagai lembaga intermediasi, yang menyalurkan dana dari unit surplus kepada unit minus pada waktu yang ditentukan. Dalam prakteknya, memang ada ketentuan waktu yang harus disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dengan bank. Jika tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati, maka akan ada konsekuensi tertentu sesuai dengan klausul dalam kesepakatan.
Secara umum, bank dalam kacamata sistem ekonomi Islam menggunakan definisi yang sama dengan definisi umum bank. Yang menjadi pembedanya adalah prinsip syari'ah yang harus diaktualisasikan dalam aktivitas keperbankanan yang dijalankan oleh bank syari'ah. Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari'ah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan bank syari'ah:
"Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah."
Definisi ini juga sekaligus memberikan framing bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan bank syari'ah adalah bank umum syari'ah dan bank pembiayaan rakyat syari'ah. Selain dua lembaga ini, maka lembaga keuangan lainnya tidak termasuk dalam kategori bank syari'ah. Perbedaan antara bank umum syari'ah dengan bank pembiayaan rakyat syari'ah adalah fungsi jasa lalulintas keuangan. Dimana bank sekaligus berperan sebagai lembaga yang memberikan jasa dalam lalulintas keuangan, sedangkan bank pembiayaan rakyat syari'ah tidak diperkenankan.
Untuk memahami mengenai bank secara konseptual (di atas kertas), beberpa definisi di atas bisa dikatakan cukup. Akan tetapi, terkadang ada kondisi empiris yang unik dan tidak tercermin dalam kajian konseptual. Untuk melengkapi pemahaman mengenai bank, alangkah baiknya jika kajian ini dilengkapi dengan sejarah singkat perbankan di Indonesia. Uraian mengenai sejarah singkat perbankan di Indonesia (lihat: sejarah singkat perbankan di Indonesia).

....Baca Selengkapnya

Lembaga Keuangan Bank Syari'ah

Lembaga Keuangan Bank Syari'ah
sumber : google/lembaga keuangan bank syari'ah
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Bank Syari'ah, serta perannya sebagai bagian dari sebuah sitem Ekonomi Islam, dalam tulisan ini akan dipaparkan melalui beberapa pendekatan. Pertama, pemahaman melalui kajian mengenai definisi lembaga keuangan bank syari'ah. Pendekatan pertama ini meliputi kajian mengenai definisi bank secara umum dari berbagai perspektif dan sumber. Kemudian kajian dukerucutkan lagi, yaitu mengenai definisi bank syari'ah. Melalui pendekatan ini, harapannya adalah pemahaman yang benar mengenai lembaga keuangan bank syari'ah. Kedua, pemahaman melalui kajian mengenai sejarah singkat perbankan, baik bank umum konvensional maupun bank umum syari'ah. Dari kajian ini, diharapkan bisa mempertajam pemahaman mengenai bank baik bank umum konvensional mauput bank umum syari'ah. Dinamika dunia perbankan masa lalu, merupakan fakta empiris mengenai apa, dan mengapa ada bank pada saat ini. Begitu juga kelebihan dan kekurangannya, yang mungkin ini semua merupakan proses dialektika hingga munculnya formula baru sistem perbankan, yang kini disebut dengan istilah sistem perbankan syari'ah. Ketiga, melalui kajian mengenai fungsi utama lembaga keuangan bank syari'ah. Dalam pemaparannya nanti, selain menguraikan fungsi lembaga keuangan syari'ah, tidak menutup kemungkinan akan disinggung mengenai fungsi lembaga keuangan bank pada umumnya. Maksudnya adalah sebagai alat pembanding. Melalui perbandingan ini, diharapkan bisa mengurai kelebihan-kelebihan dalam sistem lembaga keuangan bank syari'ah, yang sekaligus menjadi penyempurna sistem lembaga keuangan bank umum konvensional. Keempat, melalui kajian mengenai prinsip-prinsip dalam lembaga keuangan bank syari'ah. Prinsip-prinsip dalam lembaga keuangan bank syari'ah merupakan nyawa dari bank syari'ah. Setiap ketentuan yang ada dalam prinsip-prinsip lembaga keuangan bank syari'ah, harus menjadi satu kesatuan dalam operasional lembaga keuangan bank syari'ah. Hilangnya prinsip kesyari'ahan dalam bank syari'ah, seperti halnya raga yang kehilangan ruh. Bisa jadi, ketika bank yang secara hukum positif termasuk dalam kategori lembaga keuangan syari'ah, karena prinsip kesyari'ahannya tidak diterapkan, secara substansi tidak bisa disebut lembaga keuangan bank syari'ah. Kelima, melalui kajian komparatif, antara lembaga keuangan bank syari'ah dengan lembaga keuangan bank umum konvensional. Kajian ini akan menguraikan perbedaan-perbedaan, baik secara prinsip maupun pada tataran operasional. Melalui kajian ini, diharapkan bisa memberikan mepahaman secara utuh mengenai lembaga keuangan bank syari'ah.
Agar bisa dipahami secara utuh, mari kita kaji satu per satu sub pembahasan dari Lembaga Keuangan Bank Syari'ah di bawah!
1. definisi lembaga keuangan bank syari'ah (lihat : definisi lembaga keuangan bank syari'ah)
2. sejarah singkat perbankan di Indonesia (lihat : sejarah singkat perbankan di Indonesia)
3. fungsi lembaga keuangan bank syari'ah (lihat : fungsi lembaga keuangan bank syari'ah)
4. prinsip-prinsip dalam lembaga keuangan bank syari'ah (lihat : prinsip-prinsip dalam lembaga keuangan bank syari'ah)
5. perbedaan antara lembaga keuangan bank syari'ah dengan lembaga keuangan bank umum konvensional (lihat : perbedaan antara lembaga keuangan bank syari'ah dengan lembaga keuangan bank umum konvensional)

....Baca Selengkapnya

Tuesday, September 30, 2014

Isi Alamat Blog Mahasiswa STAIDA

....Baca Selengkapnya

Saturday, September 27, 2014

Sistem Ekonomi Syari'ah

Sistem Ekonomi Syari'ah merupakan hal yang bisa dibilang belum memiliki rupa, dilihat dari sisi kemapanan sebuah teori. Ini pendapat pribadi sih. mengapa saya berpendapat seperti ini? Karena hingga saat ini, dialektika keilmuan ekonomi Islam kurang bergeliat. Indikatornya bisa dilihat dari jarangnya lahir pemikir-pemikir baru pada bidang ekonomi Islam atau ekonomi syari'ah. Indikator lainnya adalah belum bulatnya suara mengenai Ekonomi Islam ditengah-tengan menjamurnya lebaga keuangan berbasis syari'ah, seperi Bank BRI Syari'ah, serta banyak lainnya. Hingga saat ini, pro dan korntra mengenai perbincangan ekonomi islam masih terus tarik ulur. Belum ada pemikiran tokoh ekonomi Islam yang bisa dijadikan pegangan. Terlepas dari itu semua, ada sebuah konsep mengenai Sistem Ekonomi Syari'ah yang benyak diterima. Kensep yang saya maksud adalah sebuah peta konsep mengenai penerapan nilai-nilai syari'ah. sebelum sedikit mengkajinya, mari kita amati gambar di bawah ini.
sistem ekonomi syari'ah
Saya kira, semua sepakat mengenai informasi yang terkandung dalam gambar di atas. Islam terdiri atas 3 pondasi meliputi Aqidah, Syari'ah, kemudian akhlaq. Syari'ah terbagi menjadi 2 yaitu ibadah, dan muamalah. Dalam mu'amalah, meliputi hukum keluarga, hukum pidana, hikim kehakiman, hukum non muslim yang ada di negara islam, hukum mengenai hubungan negara Islam dengan lainnya, hukum mengenai APBD, serta hukum mengenai ekonomi/keuangan.
Secara umum, skema di atas dibagi menjadi 2 jenis. Pembagian ini, didasari atas dasar kaidah dalam ilmu ushul fiqh. Pertama, Ibadah. Dalam hal ibadah, pada dasarnya semua ibadah dilarang kecuali ada dalil yang mewajibkan/membenarkan. Karakteristiknya, memiliki ruang lingkup yang sempit, dan bersifat tetap (Thawabit). Seluruh ibadah, harus memiliki dasar nash yang kuat. Dengan pernyataan ini, maka setiap ibadah harus memiliki dasar baik ayat-ayat al Qur'an maupun hadits. Karena ini pula, dikatakan bahwa dalam aspek Ibadah ruang ilngkupnya dikatakan sempit. Kedua adalah Mu'amalah. Dalam kaidah ushul fiqh dikatakan bahwa pada dasarnya apapun bentuk bermuamalah itu diperbolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya. Karakteristik dari wilayah kajian muamalah, ruanglingkupnya luas. Kemuadian termaruk dalam kategori yang berubah (Mutaghayyirat).
Sistem Ekonomi Syari'ah termasuk dalam wilayah mu'amalah. Sehingga, pada dasarnya setiap transaksi itu boleh. Kecuali ada dalil yang melarang. misalnya dalam perbankan. Dilihat dari Kacamata Ekonomi Syari'ah, Bank konvensional tidak sesuai syari'ah, karena menggunakan bunga sebagai landasan operasionalnya. Sedangkan dalam Islam, bunga merupakan praktek yang dilarang. Agar bisa memanfaatkan fungsi bank, maka langkah yang harus diambil adalah memodifikasi mekanismenya, menghilangkan unsur-unsur yang dilarang dalam syari'at, dan lahirlah bank syari'ah. Yang secara fungsi sama, tetapi mekanismenya telah disesuaikan dengan prinsip=prinsip kesyari'ahan.
....Baca Selengkapnya

Bank BRI Syari'ah

Bank BRI merupakan salah satu bank besar yang ada di Indonesia. Saat ini, bank BRI telah memenuhi syarat untuk membuka cabang bank berbasis syari'ah. Atau istilah kerennya spin off. pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dengan prinsip kesyari'ahannya? katanya bank syari'ah, tapi dicampur dengan bank konvensional? hak dan bathil kalo dicampu yang bathil yang menang. Wajar jika pertanyaan seperti itu muncul. Akan tetapi, alangkah baiknya, sebelum kita menilai, kita pelajari terlebih dahulu strukturnya bagaimana? bagaimana sirkulasi keuangan pada bank tersebut? Bagaimana pula mekanisme pengambilan keungtungan masing-masing. Kemudian kita tari benang merahnya, apakah semua aktivitas lembaga tersebut bertentangan dengan prinsip syari'ah atau tidak.
Dalam Kacamata Ekonomi Islam, atau Ekonomi Syari'ah, ada yang dikenal dengan sebuah mekanisme yang diberi Istilah Spin Off. Dalam wikipedia, definisi spin off adalah "organisasi, objek atau entitas baru yang merupakan hasil pemisahan atau pemecahan dari bentuk yang lebih besar". Terkait dengan ini, mengenai kegelisahan akan fenomena maraknya bank konvensional yang melakukan spin off, mari kita urai sedikit demi sedikit. Apa yang diharamkan dalam sebuah sistem bank konvensional? jawabannya adalah unsur riba. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah bunga bank (walaupun selain ini, ada juga unsur lainnya). Unsur ribawi muncul dalam sebuah proses. Jadi, yang diharamkan dalam bank konvensional adalah proses yang mengandung unsur ribawi dalam operasionalnya. Jika praktek ribawi dalam sebuah lembaga keuangan sudah bisa dihilangkan, apapun nama lembaga keuangan itu, tentu lembaga tersebut tidak bisa dikatakan bertentangan dengan prinsip syari'ah. Pun, jika lebaga tersebut dinamai dengan menggunakan istilah bank syari'ah, untuk membedakan dengan bank yang masih menggunakan unsur rubawi dalam operasionalnya. Dalam setiap fatwa DSN mengenai sebuah produk yang boleh dikeluarkan oleh sebuah bank, pasti mengandung klausul yang menyatakan bahwa "mengingat produk yang saat ini sedang berjalan bertentangan dengan prinsip=prinsip syari'ah, maka perlu adanya produk yang tidak bertentangan dengan syari'ah". kurang lebih begitu isinya. Kalo mau lebih pasti, silahkan buka saja fatwa-fatwa DSN.
Dilihat dari sisi sistem yang dijalankan, bisa dikatakan bahwa bank syari'ah dibagi menjadi 2 jenis. single system bank, dan dual system bank. contoh single system bank adalah yang diterapkan oleh bank Syari'ah BRI, serta bank syari'ah lain yang lahir sendiri seperti Bank Mu'amalat atau bank syari'ah yang lahir dari hasil spin off bank induknya. Dalam sistem bank syari'ah, mulai dari input, proses, output serta outcome nya harus sesuai dengan prinsip syari'ah. Misalnya saja mengenai investor. Bank syari'ah tentu akan menyaring investor-investor yang ingin menanamkan modalnya di Bank Syari'ah, pun dengan Bank Syari'ah BRI. Dengan ketentuan ini, tentu kita bisa memahami bahwa walaupun Bank Syari'ah tersebut merupakan hasil dari Spin Off dari bank induk yang konvensional, akan tetapi seluruh prosesnya telah diperlakukan sesuai dengan ketentua-ketentuan yang didasarkan pada prinsi-prinsi kesyari'ahan. Dan yang palin penting, walaupun sama-sama memiliki nama BRI, pengelolaan keuangan jelas berbeda satu dengan lainnya. Dalam hal ini, pengelolaan keuangan Bank Syari'ah BRI harus dilakukan dengan memperhatikan serta menjalankan prinsip-prinsip kesyari'ahannya.
Saya kira porsoalan mengenai bank syrai'ah yang lahir dari rahim bank konvensional, sudah sedikit bisa diuraikan. mudah-mudahan uraian singkat diatas bisa memberikan pemahaman mengenai bank syari'ah, yang dalam postingan ini bank BRI Syari'ah dijadikan contohnya. Kita lajut ke persoalan lain, dimana telah banyak yang beranggapan bahwa "bagaimana prinsip kesyari'ahan bisa dijalankan, sementara bank sentralnya saja masih sama yaitu pada BI. Bukankah BI itu menggunakan prinsip ribawi?" nah, ini juga penting di uraikan agar tidak terjadi mis komunikasi. Masalahnya, kalau diuraikan disini, pembaca bisa merasa jenuh karena melihat tulisan yang monoton, dan panjang. Oleh karenanya, untuk menjelaskan mengenai perlakuan BI terhadap bank baik bank konvensional maupun bank syari'ah, diuraikan pada postingan lain. Silahkan lihat postingan lain tersebut dengan judul "GWM Bank Syari'ah = GWM Bank Konvensional", yang bisa di akses pada http://goo.gl/KJyIEy.
....Baca Selengkapnya

Friday, September 26, 2014

Ekonomi Syari'ah

Ekonomi Syari'ah merupakan istilah lain untuk Ekonomi Islam. Ya, ada pepatah yang bilang bahwa "apalah arti sebuah nama". Dalam konteks substansi, memang tidak ada perbedaan antara ekonomi Syari'ah dengan Ekonomi Islam. Akan tetapi, disisi lain mungkin ada sesuatu yang bisa memberi pemaknaan berbeda antara istilah Ekonomi Syari'ah dengan Ekonomi Islam. Baik, dalam kesempatan ini saya akan mencoba me-recall ingatan saya ketika di atas bangku kuliah,tepatnya ketika sang dosen bercerita mengenai sejarah Ekonomi Islam di Indonesia. Secara literer, saya sendiri belum pernah melihat secara langsung referensi yang bisa memperkuat informasi yang saya terima dari dosen pada saat itu. Akan tepi, keterbatasan literasi tersebut mungkin dikarenakan saya sendiri yang relatif jarang baca buku, sehingga pembendaharaan bukunya kurang. Faktor lainnya mungkin karena informasi ini sangat kental dengan kondisi politik pada saat itu. Sehingga ini menjadi semacam hidden history Ekonomi Islam di Indonesia. Apa yang diceritakan Dosen tersebut? ya, nanti saya uraikan di bawah.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sejarah Ekonomi Islam secara kelembagaan, mulai booming pada tahun 1991-1992 (kalau tidak salah). Saat itu, di tahun 1991 sudah mulai ada rumusan/inisiatif untuk membuat lembaga keuangan syari'ah yang se-level dengan bank yang kemudian diistilahkan dengan Bank Syari'ah. Tentu cerita ini sudah banyak yang tau, dan tentunya telah banyak juga yang mencantumkannya dalam buku-buku referensi untuk jurusan Ekonomi Islam. Pertanyaannya, mengapa saat itu menggunakan istilah bank syari'ah dan bukan bank Islam? pada saat itu, istilah ekonomi syari'ah lebih banyak digunakan daripada istilah ekonomi Islam. Bagaimana sekarang? oke, bank syari'ah memang hingga saat ini masih menjadi istilah mainstream dibandingkan bank Islam. Akan tetapi, didunia pendidikan, saat ini lebih banyak yang menggunakan Ekonomi Islam di banding dengan menggunakan Istilah ekonomi Syari'ah. Entah itu karena panduan dalam regulasinya seperti itu, atau karena faktor lain. Kepo juga ya ternyata? haha,,,
lanjut lagi ceritanya. sekarang, kita to the point saja ya. Konon, sejarah munculnya istilah Bank Syari'ah di awal lahirnya sistem Ekonomi Islam, dikarenakan sensitifitas pemerintah pada saat itu terhadap gerakan-gerakan radikal. Segala bentuk pergerakan yang berpotensi menggoyangkan penguasa pada saat itu, langsung ditindak tegas. Istilah Islam dalam bank islam, dianggap identik dengan sikap-sikap makar terhadap pemerintah. Sedangkan istilah Syari'ah, dianggap lebih bersahabat dan besifat bisa meredam pemikiran-pemikiran yang potensial mengarah pada upaya-upaya perpecahan.
Terkait dengan cerita dosen saya yang ditulis kembali pada postingan ini, secara literer belum bisa dilampirkan fakta-fakta yang bisa memperkuat cerita tersebut. akan tetapi, alasannya logis dan bisa diterima dengan akal. Jika tulisan ini dianggap tidak memberikan manfaat dalam warna-warni dinamika keilmuan ekonomi syari'ah, silahkan mengabaikannya. akan tetapi, jika tulisan ini bemanfaat dan menjadi bagian dari sudut pandang dalam dunia Ekonomi syari'ah, saya minta dido'akan agar bisa produktif menulis, terutama dalam bidang Ekonomi Islam. sekalian minta dido'akan, supaya semua tulisan diberi keberkahan. aamiin,,,
....Baca Selengkapnya

Kacamata Ekonomi Islam

Dalam rangka memperbaiki struktur blog dilihat dari sisi optimasi on page, pada kesempatan ini saya ingin kembali membahas mengenai ekonomi islam. Memang, kalo dilihat dari jumlah postingan saat ini, tulisan ini merupakan tulisan ke sekian kali, dan bisa jadi dianggap terlambat untuk ukuran struktur blog. Memang konstruksi lebih baik dipikirkan dari awal, akan tetapi berhubung belajar otodidak, jadi baru sekarang mengerti mengenai konstruksi blog yang baik (menurut apa yang saya peroleh saat ini). Pepatah bijak mengatakan "lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali", atas dasar itu maka melalui tulisan ini saya niatkan menjadi batu pondasi pertama untuk konstruksi blog yang lebih baik. Maka berbahagialah orang yang membaca postingan ini. *jadi ngelantur....
Kembali pada topik mengenai ekonomi islam. Pada kesempatan ini, saya akan mencoba menjabarkan Ekonomi Islam dalam beberapa pendekatan.

Ekonomi Islam dari Kacamata Filsafat Ilmu

Sub ini dibuat biar keren saja. Masalah konten, mudah-mudahan tidak melenceng dari sub ini. Begini, dalam filsafat ilmu ada yang dikenal dengan keilmuan yang bersifat antroposentris, ada juga yang dikenal dengan keilmuan yang bersifat teo-antroposentris. Sifat inilah yang membedakan antara ilmu ekonomi dengan ilmu ekonomi Islam. Ilmu ekonomi konvensional itu bersifat antroposntris, sedangkan ilmu ekonomi Islam bersifat tep-antroposentris. Nah lo, kok jadi banding-bandingkan? yup, adanya ekonomi Islam pada kontek sekarang, tentu tidak bisa dipisahkan dengan ilmu ekonomi. ekonomi Islam, bisa dikatakan merupakan bagian dari proses dialektika yang salah satu mata rantainya dari ilmu ekonomi. Mengenai pernyataan terakhir ini mungkin debatebel (ejaan sunda), banyak juga yang menganggap ekonomi Islami jauh lebih cepat dijalankan sebelum munculnya ilmu ekonomi umum. Bagi saya, perdebatan ini bukan poin utama. Yang jelas, kedua disiplin ilmu ini tidak bisa dipisahkan.
Kembali lagi pada pembahasan mengenai ilmu antroposentris, dengan ilmu teo-antroposentris. Antroposenstris, dalam konteks ini secara sederhana bisa dimaknai manusia sebagai pusatnya. Dalam konteks ilmu ekonomi, maka bisa ditarik benang merah bahwa ilmu tersebut berpusat pada manusia sebagai objek kajiannya. Maksudnya, ilmu ekonomi lahir dan bersar hanya berpusat pada manusia. Sebagaimana kita ketahui, bahwa manusia itu terus berproses. Sehingga bukan tidak mungkin, ilmu ekonomi juga akan terus berproses. Sehingga potensi ketidak sempurnaan, masih sangat besar. Potensi ini diperparah dengan tabiat manusia yang selalui ingin mendominasi manusia lainnya. Sehingga banyak lahir teori-teori ekonomi yang tersetruktur dan masiv, hanya memberikan keuntungan pada pihak tertentu saja, dan sekaligus merugikan pihak lainnya secara sistemik. Misalnya saja sistem ekonomi kapitalis. Dilihat dari sisi ini, ekonomi Islam jelas berbeda dengan ekonomi konvensional. Bisa dikatakan bahwa ekonomi Islam itu tergolong dalam keilmuan yang bersifat teo-antroposentris. Maksudnya adalah ilmu yang secara terintegrasi berpusat pada manusia dan Allah. Nilai-nilai islam terintegrasi dengan teori-teori empiris ilmu ekonomi, maka lahirlah ekonomi Islam. Dalam konteks implementasi, ilmu ekonomi Islam tentu harus dilengkapi dengan perangkat lain yang bisa menjaga otentisitasnya. Misal dalam konteks perbankan ada yang dikenal dengan istilah DSN dan DPS.

Ekonomi Islam dari sisi Humanistis

Nilai-nilai kemanusiaan, dijunjung tinggi dinegara-negara modern. Terbongkarnya sitem ekonomi yang tidak manusiawi, tentu akan melahirkan alternatif baru ilmu ekonomi yang lebih manusiawi. Objektif, berkeadilan, merupakan hal yang menjadi obat untuk sistem ekonomi konvensional. Den nilai-nilai humanis ada dalam ekonomi Islam. inilah hal lain yang membedakan antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam.
....Baca Selengkapnya

Thursday, September 11, 2014

HADITS: SUATU ZAMAN KETIKA MENUSIA TIDAK PEDULI HALAL DAN HARAM

Alhamdulillah, setelah sekian lama akhirnya bisa “memaksakan diri” untuk kembali menulis agar bisa di publish di blog Artikel Ekonomi Islam. Pada kesempatan ini, saya akan mencoba berbagi sebuah hadits tentang “Suatu Zaman Ketika Manusia tidak Peduli Halal dan Haram”. Sebelumnya, tulisan bertemakan hadits muamalah yang terakhir saya buat dan dipublikasikan yaitu berjudul “2 Akad dalam 1 Transaksi” yang bisa di akses pada http://goo.gl/QjU651.
Kembali ke tulisan yang akan saya bahas. Tulisan ini disusun persis setelah iseng membaca untuk mengisi waktu luang, ternyata saya menemukan sebuah hadits yang isinya lumayan mencengangkan. Berikut isi hadistnya:
HADITS: SUATU ZAMAN KETIKA MENUSIA TIDAK PEDULI HALAL DAN HARAM
Shahih Bukhari 1918: Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dza'bi telah menceritakan kepada kami Sa'id Al Maqbariy dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Akan datang suatu zaman pada manusia yang ketika itu seseorang tidak peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah haram".
Sebelum membahas isi hadits, saya akan sedikit menyinggung mengenai sanad hadits yang nantinya bisa menentukan derajat hadits ini. Hadits nomor 1918 dalam kitab hadits Shahih Bukhari menurut pandangan ulama hadits (ijma’ ulama), termasuk dalam kategori hadits shahih. Jika melihat rowi hadits, salah satu perowi ada yang berstastus Matruk (Matruk ialah Perawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan kekeliruan, sehingga periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah. Atau perawi yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi yang terkenal tsiqah). Selain itu, semua rowi memiliki predikat tsiqah ‘adil, bahkan ada yang tsiqah hafidz. Akan tetapi, hadits ini memiliki hadits pembanding yang bisa memperkuat kekuatan hadits ini. Mungkin ini salah satu pertimbangan ulama hadits untuk memberikan predikat shahih pada hadits ini. Perkara shahihnya itu shahih lidzatih, maupun la lidzatih, itu lain soal.
Masuk pada kandungan makna hadits. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Rasulullah adalah manusia yang dimaksum. Setiap perbuatan beliau mendapat supervisi dari Allah SAW. Beliau juga merupakan manusia yang telah diberi wahyu, sehingga setiap contoh perbuatan yang beliau tunjukkan merupakan blueprint manusia paling sempurna. Begitupun dengan perkataan beliau, yang hampir bisa dipastikan benar, serta mengandung faedah baik secara duniawi, bahkan ukhrowi. Hadits ini mengandung informasi bahwa “Akan datang suatu zaman pada manusia yang ketika itu seseorang tidak peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah haram”. Sebagai seorang muslim, tentu informasi ini sangat mengerikan. Mengapa? Karena itu berarti manusia sudah ditak peduli lagi dengan ajaran agama. Padahal sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Islam adalah “way of life”. Apa jadinya hidup tanpa berIslam?
Semoga tulisan ini bisa menginspirasi kita semua untuk senantiasa memegang nilai-nilai Islam, agar kemudian menjadi subjek yang memiliki peran supaya manusia yang ada di bumi tetap memegang teguh nilai-nilai Islam.
....Baca Selengkapnya

Sunday, September 7, 2014

Konsep Dasar Bank

Sebelum ke Konsep Dasar Bank

Konsep Dasar Bank
Terkadang, banyak yang keliru menafsirkan lembaga-lembaga yang di belakang atau di depannya dicantumkan embel-embel syari'ah, mind-set yang dibangun adalah lembaga tersebut harus selalu memberi keuntungan. Lembaga tersebut harus selalu bisa membantu. Dan lembaga tersebut haram rugi. Begitu juga yang sering terjadi ketika melihat persoalan yang ada pada bank syari'ah. Sebelum mengkaji lebih jauh mengenai stigma kebanyakan orang terhadap lembaga berbasis prinsip syari'ah, tentu kita harus mengenal terlebih dahulu konsep dasar lembaga tersebut. Prinsip-prinsip yang dimasukkan pada sebuah lembaga, tidak akan merubah konsep dasar lembaga tersebut. Berpengaruh mungkin iya, akan tetapi tidak secara otomatis 180 derajat berubah. Bagaimana konsep dasar perbankan? Mari kita urai pada kajian berikut!

Bank Secara Teori

Konsep dasar sebuah bank adalah lembaga intermediasi. Dikutif dari kamus besar bahasa Indonesia definisi bank adalah sebagai berikut:
"badan usaha di bidang keuangan yg menarik dan mengeluarkan uang dl masyakarat, terutama memberikan kredit dan jasa dl lalu lintas pembayaran dan peredaran uang"
Dari sisi etimologi, berikut adalah paparannya yang dikutif dari wikipedia.org
"Kata bank berasal dari bahasa Italia banque atau Italia banca yang berarti bangku. Para bankir Florence pada masa Renaissans melakukan transaksi mereka dengan duduk di belakang meja penukaran uang, berbeda dengan pekerjaan kebanyakan orang yang tidak memungkinkan mereka untuk duduk sambil bekerja."
Berikut adalah sedikit cuplikan sejarah mengenai bank yang dikutif dari wikipedia.org
"Bank pertama kali didirikan dalam bentuk seperti sebuah firma pada umumnya pada tahun 1690, pada saat kerajaan Inggris berkemauan merencanakan membangun kembali kekuatan armada lautnya untuk bersaing dengan kekuatan armada laut Perancis [7] akan tetapi pemerintahan Inggris saat itu tidak mempunyai kemampuan pendanaan kemudian berdasarkan gagasan William Paterson yang kemudian oleh Charles Montagu direalisasikan dengan membentuk sebuah lembaga intermediasi keuangan yang akhirnya dapat memenuhi dana pembiayaan tersebut hanya dalam waktu duabelas hari.[8]Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada zaman kerajaan tempo dulu di daratan Eropa. Kemudian usaha perbankan ini berkembang ke Asia Barat oleh para pedagang.[butuh rujukan] Perkembangan perbankan di Asia, Afrika dan Amerika dibawa oleh bangsa Eropa pada saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika maupun benua Amerika.[butuh rujukan] Bila ditelusuri, sejarah dikenalnya perbankan dimulai dari jasa penukaran uang.[butuh rujukan] Sehingga dalam sejarah perbankan, arti bank dikenal sebagai meja tempat penukaran uang.[butuh rujukan] Dalam perjalanan sejarah kerajaan pada masa dahulu penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan yang satu dnegan kerajaan yang lain.[butuh rujukan] Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal dengan nama Pedagang Valuta Asing (Money Changer).[butuh rujukan] Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan.[butuh rujukan] Berikutnya kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang.[butuh rujukan] Uang yang disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali kepada masyarakatyang membutuhkannya.[butuh rujukan] Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam.[butuh rujukan]"

Konsep Dasar Bank

Dari beberapa literatur di atas, fungsi utamanya merupakan lembaga intermediasi yang berguna untuk menghimpun dana dari unit surplus, kemudian menyalurkannya ke unit minus. Konsep dasar ini dilakukan dalam bingkai motif ekonomi atau sederhananya untuk mencari keuntungan.
Pada dasarnya, bank syari'ah juga merupalan lembaga profit oriented. Dimana bank syari'ah juga mencari keuntungan. Akan tetapi, yang membedakan dengan bank konvensional adalah implementasi nilai-nilai syari'ah mulai dari regulasi, hingga pada tataran teknis. Nilai-nilai syari'ah ini bisa dikatakan merupakan serangkaian aturan main yang sangat objektif. Sehingga jika diterapkan dengan baik, maka keuntungan yang diperoleh sangat sesuai dengan usaha yang dilakukan. Intinya, nilai keadilan sangat dijunjung tinggi dalam sistem perbank syari'ah.

....Baca Selengkapnya

Friday, September 5, 2014

Peran Mahasiswa Ekonomi Syari'ah

Peran Mahasiswa Ekonomi Syari'ah sebagai Agen of Change

Setelah sebelumnya membahas mengenai Pertumbuhan Bank Syariah di Indonesia 2014, Peluang Kerja di Bank Syari'ah, Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Per Propinsi, Hubungan BI dengan Bank Syari'ah serta artikel lainnya yang bisa dilihat pada Daftas Isi. Dalam kesempatan ini blog Ekonomi Islam akan mengangkat sebuah permasalahan mengenai Peran Mahasiswa Ekonomi Syari'ah.
Sering terngiang ditelinga bahwa mahasiswa adalah agen perubahan (agen of change). Jika itu betul, tentu agen perubahan dalam semua aspek. Baik itu politik, sosial, hingga aspek yang sesuai dalam bidang keilmuan yang sedang ditekuninya. Dalam konteks ekonomi syari'ah, jika menggunakan teori mahasiswa adalah agen perubahan, tentu salah satu peran utamanya adalah sebagai manusia yang ikut serta dalam memperjuangkan penerapan serta pengembangan sistem ekonomi Syari'ah. Mulai dari regulasi, hingga penerapan di lapangan. Seharusnya mahasiswa memiliki peran untuk mengontrol itu semua, agar tidak ada kesenjangan antara hasil penelitian (teori), dan praktek di lapangan.

Peran Mahasiswa Ekonomi Syari'ah dalam Konteks Perkembangan Bank Syari'ah

Peran Mahasiswa Ekonomi Syari'ah
Tidak bisa dipungkiri bahwa ekonomi syari'ah sangat identik dengan bank syari'ah. Ketika muncul istilah ekonomi syari'ah, maka istilah yang sangat potensial muncul berikutnya adalah bank syari'ah. Berbicara mengenai ekonomi syari'ah, tentu tidak hanya mengenai bank syari'ah ansih. Ada banyak objek kajian lain yang masuk dalam wilayah kajian ekonomi syari'ah. Misalnya seperti asuransi syari'ah, lembaga micro/macro finance berbasis syari'ah, serta banyak lainnya.
Bank syari'ah dalam perkembangannya mengalami banyak lika-liku. Banyak diantara masyarakat yang menganggap bank syari'ah itu sama dengan bank konvensional. Untuk menjawab kegelisahan ini, silahkan baca kembali artikel kami sebelumnya yaitu "Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional?" Selain itu, ada juga kritik dari sesama muslim mengenai praktek bank syari'ah yang dianggap belum mencerminkan nilai-nilai kesyari'ahan. Serta banyak lainnya.
Lalu sikap seperti apa yang harusnya di ambil oleh seorang mahasiswa jurusan ekonomi syari'ah? Ada sebuah pakem yang yang dikenal dengan istilah 3 darma perguruan tinggi. Tranformasi keilmuan, pengembangan keilmuan (penelitian), serta pengabdian terhadap masyarakat. Pada fungsi pertama, ditunaikan melalui kegiatan belajar-mengajar yang diperoleh di kelas ketika perkuliahan. Pengembangan keilmuan dicapai melalui proses penelitian yang wajib dilakukan oleh seluruh mahasiswa. Biasanya diwujudkan dalam bentuk tugas akhir. Baik berupa karya, maupun hasil penelitian. Pengabdian terdahap masyarakat, biasanya diwujudkan dalam kegiatan KKN, pendampingan masyarakat, atau bentuk lainnya. Semuanya dijalankan dalam bingkai keilmuan sesuai dengan jurusan yang ditempuh. Termasuk dalam bidang perbankan syari'ah.
Sistem ekonomi syari'ah yang salah satunya diimplementasikan dalam bank syari'ah, merupakan hal baru dibandingkan dengan sistem perbankan mainstream yang telah mapan. Dalam kondisi seperti ini, seluruh stake holder bank syari'ah dari hulu ke hilir harus memiliki peran sebagai pulisher. Tepatnya sebagai pihak yang berperan aktif untuk mensosialisasikan sistem yang sedang dikembangkan, dalam hal ini bank syari'ah. Ada banyak perbedaan dengan bank konvensional, walaupun secara kasat mata seperti sama. Substansi ini yang perlu disampaikan kepada masyarakat luas, agar tidak terjadi mis komunikasi dalam memahami bank syari'ah secara utuh.
Sebagai mahasiswa, sudah tentu dituntut untuk kritis dalam menghadapi segala sesuatu. Termasuk dalam permasalahan perbankan syari'ah. Akan tetapi, sebagai orang yang secara langsung dengan sengaja mengkaji sistem bank syari'ah, tentu memiliki kewajiban untuk menjelaskan kepada masyarakat luas yang mungkin memiliki akses yang lebih terbatas untuk mengkaji bank syari'ah.

Simpulan atas Peran Mahasiswa Ekonomi Syari'ah

Sebagai orang yang secara langsung dengan sengaja mengkaji sistem bank syari'ah, tentu memiliki kewajiban untuk ikut mensosialisasikan bank syari'ah kepada masyarakat luas yang memiliki kesempatan lebih kecil dalam mengkaji bank syari'ah. Sikap kritis merupakan hal penting yang harus tetap di jaga untuk penguatan sistem perbankan syari'ah.

"Sebagai orang yang secara langsung dengan sengaja mengkaji sistem bank syari'ah, tentu memiliki kewajiban untuk ikut mensosialisasikan bank syari'ah kepada masyarakat luas yang memiliki kesempatan lebih kecil dalam mengkaji bank syari'ah."
....Baca Selengkapnya

Monday, September 1, 2014

Kartu Kredit Syari'ah (Syari'ah Card)

Kartu Kredit Syari'ah atau Syari'ah Card adalah

Dikutif langsung dari fatwa DSN No. 54 tentang Syari'ah Card, berikut adalah pengertiannya:
"Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa ini "

Latar belakang munculnya produk syari'ah card dalam dunia perbankan dikarenakan tingkat kebutuhan akan kartu kredit yang relatif tinggi. Akan tetapi, kartu kredit konvensional itu berbasis pada bunga. Dalam Islam, segala sesuatu yang didasarkan pada bunga itu dilarang. Untuk mengakomodir kebutuhan ini, maka perbankan syari'ah mengeluarkan syari'ah card yang secara fungsi sama dengan kartu kredit, akan tetapi telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan menghilangkan unsur-unsur ribawi, dan menggantinya dengan mekanisme yang disesuaikan dengan prinsip-pinsip syari'ah. Salah satu yang paling menonjol dalam "syari'ah-isasi" kartu kredit adalah system bunga yang diganti dengan system lain, yang menurut perspektif syari'ah tidak bertentangan. Pertanyaannya adalah, apa saja kriteria yang membedakan kartu kredit konvensional dengan kartu kredit syari'ah? Mari kita elaborasi pada uraian di bawah!

Akad yang digunakan dalam Kartu Kredit Syari'ah (Syari'ah Card)

Ada 3 akad yang digunakan dalam produk Kartu Kredit Syari'ah (Syari'ah Card), diantaranya adalah:
[1] Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah).
[2] Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu.
[3] Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.

Batasan-batasan dalam penggunaan produk Kartu Kredit Syari'ah (Syari'ah Card)

[1] Tidak menimbulkan riba.
[2] Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengancsyariah.
[3] Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan.
[4] Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
[5] Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah

Transparansi Biaya Kartu Kredit Syari'ah (Syari'ah Card)

Faktor lain yang sangat substantif dalam Islam adalah kejelasan biaya. Dalam memanfaatkan fasilitas Kartu Kredit Syari'ah (Syari'ah Card), ada beberapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna kartu. Diantaranya adalah:
[1] Iuran keanggotaan (membership fee), bank selaku pihat yang mengeluarkan kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum al-’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang Kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu.
[2] Merchant fee, bank selaku pihak yang menerbutkan kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
[3] Fee penarikan uang tunai, Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
[4] Fee Kafalah, Penerbit kartu boleh menerima fee dari Pemegang Kartu atas pemberian Kafalah.
[5] Semua bentuk fee tersebut di atas (a s-d d) harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.
Selain biaya-biaya tersebut, biaya lain yang harus dikeluarkan adalah ketika pengguna terlambat membayar kewajibannya setelah jatuh tempo. Atau yang disebut dengan istilah ta'widh.
Transparansi biaya seperti ini, sekilas memberikan kesan bahwa bank syari'ah memiliki beban biaya yang lebih banyak dibandingkan dengan bank konvensional. Jika dikalkulasi, mungkin kartu kredit syari'ah lebih banyak biaya dibandingkan dengan kartu kredit konvensional. Akan tetapi, rumitnya akad dalam produk syari'ah card, biaya-biaya yang harus dikeluarkan, didasarkan pada prinsip-prinsip kesyari'ahan yang harus diterapkan pada seluruh produk bank syari'ah. Syari'ah atau tidak, tidak hanya menyoal murah atau mahal. Syari'ah atau tidak dapat dilihat dari mekanismenya yang secara substantif berbasis pada nilai-nilai Islam. Terlepas dari murah atau mahalnya biaya sebuah produk, jika memang itu didasarkan pada menaisme yang berbasis pada prinsip-prinsip syari'ah, maka itu merupakan sebuah konsekuensi logis yang harus di terima.
....Baca Selengkapnya

Saturday, August 30, 2014

2 Akad dalam 1 Transaksi Bag.2

...Baca Tulisan Sebelumnya

[3] Hadits yang diambil dari Musnad Ahmad dengan nomor 7903.

2 Akad dalam 1 Transaksi

Musnad Ahmad 7903: Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya; dari Abu Hurairah; berkata: Rasulullah melarang dua transaksi dalam satu akad jual beli dan dua cara berpakaian; yaitu salah seorang berihtiba` (duduk di atas bokong dengan mengumpulkan kedua pahanya menempel dada) dengan satu kain sedang pada daerah kemaluannya tidak ada sesuatu yang menutupinya, dan menyelimuti badannya dengan satu kain sarungnya ketika shalat kecuali jika kedua ujungnya diserempangkan pada pundaknya. Dan Rasulullah juga melarang dari jual beli dengan sistem Al Lams (barangsiapa memengang maka wajib beli) dan An Najsy (menambah harga barang dengan tujuan untuk menipu pembeli)."

[4] Hadits yang diambil dari kitab sunan Tirmidzi dengan nomo 1152. Dalam versi lain, hadits ini terdapat dalam kitab Ahmad Syakir dengan nomor 1231. Menurut ijma’ ulama hadits (Syekh al Albani), hadits ini termasuk dalam kategori hadits shahih.

2 Akad dalam 1 Transaksi

Sunan Tirmidzi 1152: Telah menceritakan kepada kami Hannad telah menceritakan kepada kami Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang melakukan dua penjualan dalam satu kali transaksi. Dalam hal ini ada hadits serupa dari Abdullah bin Amru. Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud. Abu Isa berkata; Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih dan menjadi pedoman amal menurut para ulama. Sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka mengatakan; maksud Dua penjualan dalam satu transaksi adalah perkataan seseorang; Aku menjual pakaian ini kepadamu dengan tunai seharga sepuluh dan kredit seharga dua puluh tanpa memisahkannya atas salah satu dari dua transaksi. Jika ia memisahkannya atas salah satu dari kedua transaksi tersebut maka tidak apa-apa selama akadnya jatuh pada salah satu dari keduanya. Asy Syafi'i berkata; Termasuk makna dari larangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang dua transaksi dalam satu kali jual beli adalah perkataan seseorang; Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu, tata cara jual beli seperti ini berbeda dengan tata cara jual beli barang yang tidak diketahui harganya dan salah satu dari keduanya (penjual dan pembeli) tidak mengetahui tansaksi yang ia tujukan.

Kajian Mengenai 2 Akad dalam 1 Transaksi Berdasar pada 4 Hadits

Semua hadits di atas mengandung makna pelarangan untuk melakukan 2 akad dalam 1 transaksi. Pernyataan umum ini terdapat jelas dalam 3 hadits awal. Akan tetapi, jika kita berhenti menggali makna dari pernyataan ini, bisa jadi ketika membeli barang tertentu, kemudian kekurangan uang, hingga akhirnya pembelian dilakukan dengan pembayaran secara tunai sebagian, dan sebagian lainnya dibayarkan kemudian (hutang). Dalam transaksi ini ada 2 akad pada akhirnya. Tunai, dan hutang.
Hadits nomor 4, tepatnya hadits Sunan Tirmidzi 1152 sudah sangat lengkap. Sehingga pemaknaan kita mengenai 2 akad dalam 1 transaksi lebih kongkret dan jelas konteksnya. Dalam hadits terebut, jelas dipaparkan bahwa yang termasuk dalam kategori 2 akad dalam 1 transaksi adalah “perkataan seseorang; Aku menjual pakaian ini kepadamu dengan tunai seharga sepuluh dan kredit seharga dua puluh tanpa memisahkannya atas salah satu dari dua transaksi. Jika ia memisahkannya atas salah satu dari kedua transaksi tersebut maka tidak apa-apa selama akadnya jatuh pada salah satu dari keduanya” selain dalam konteks itu, para ulama sebagaimana yang tertera dalam hadits di atas adalah ketika seseorang berkata dalam sebuah transaksi “Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu, tata cara jual beli seperti ini berbeda dengan tata cara jual beli barang yang tidak diketahui harganya dan salah satu dari keduanya (penjual dan pembeli) tidak mengetahui tansaksi yang ia tujukan”.

Simpulan Mengenai 2 Akad dalam 1 Transaksi

Haramnya melakukan 2 akad dalam 1 transaksi jelas konteksnya, dan tidak bisa diterapkan begitu saja karena bisa keliru dan tidak mencerminkan substansinya. Substansi dari haramnya melakukan 2 akad dalam 1 transaksi berdasarkan hadits di atas adalah untuk menghindari ketidak jelasan harga. Islam sangat menghargai “kepemilikan”. Begitu juga dengan mekanisme pemindahan kepemilikan. Baik dengan jual beli, atau bahkan hibah sekalipun. Ketidakjelasan nilai/harga, berpotensi memunculkan perselisihan. Dapak negatif ini berpotensi terjadi jika kita melakukan 2 akad dalam 1 transaksi. Tulisan ini hanyalah sebuah upaya untuk mencari kejelasan mengenai nilai yang terkandung dalam pernyataan haramnya melakukan 2 akad dalam 1 transaksi, agar tidak salah kaprah dalam menerapkannya. Pemaknaan yang kami lakukan, mungkin benar mungkin juga keliru. Akan tetapi, untuk mengurangi potensi kekeliruan dalam memaknai permasalahan ini, kami telah berupaya sesuai kapasitas dengan cara mengambil sumber-sumber yang orisinil dan dapat dipertanggungjawabkan. Semoga bisa bermanfaat.

....Baca Selengkapnya

2 Akad dalam 1 Transaksi

2 Akad dalam 1 Transaksi itu Haram?

Tulisan ini hanyalah sebuah upaya untuk menjawab kegelisahan mengenai pernyataan bahwa dalam Islam, 2 Akad dalam 1 Transaksi merupakan hal yang dilarang. Atau dalam bahasa hukum Islam disebut HARAM! Pernyataa 2 Akad dalam 1 Transaksi bersifat universal, dalam arti bisa menghukumi berbagai aspek, atau tidak terbatas untuk aspek tertentu saja. Sebua bentu transaksi apapun itu, jika tergolong dalam kategori 2 Akad dalam 1 Transaksi, maka bisa jadi termasuk dalam aktivitas yang diharamkan. Dalam islam, haram mengenal paling tidak ada 2 kategori haram. Haram secara dzatiah, dan haram secara proses/mekanisme perolehannya. 2 Akad dalam 1 Transaksi merupakan sebuah mekanisme transaksi yang diharamkan dalam Islam. Dan ini termasuk dalam kategori haram secara proses/mekanisme perolehannya.
Pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud dengan 2 Akad dalam 1 Transaksi? Sumber hukum mengenai 2 Akad dalam 1 Transaksi itu apa? Sesuai dengan nash yang mengandung pemaknaan 2 Akad dalam 1 Transaksi, dalam kondisi seperti apakah 2 Akad dalam 1 Transaksi berlaku? Mari kita elaborasi lebih jauh melalui penjabaran di bawah!

Sumber Hukum 2 Akad dalam 1 Transaksi

Terkait dengan pernyataan haramnya 2 Akad dalam 1 Transaksi, paling tidak ada 4 hadits yang matannya mengarah pada pernyataan ini.

[1] Hadits yang di ambil dari kitab Sunan Abu Daud dengan nomor 3002. Dalam versi kitab Baitul Afkar ad Dauiliah, hadits ini bernomor 3461. Menurut ulama hadits (Syeikh al Albani), hadits ini termasuk dalam kategori hadits dengan derajat hasan.

2 Akad dalam 1 Transaksi

Sunan Abu Daud 3002: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dari Yahya bin Zakaria dari Muhammad bin 'Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa melakukan dua transaksi dalam satu transaksi maka baginya kekurangannya atau riba."

[2] Hadits yang di ambil dari kitab Musnad Ahmad dengan nomor 3595.

2 Akad dalam 1 Transaksi

Musnad Ahmad 3595: Telah menceritakan kepada kami Hasan dan Abu Nadlr dan Aswad bin Amir mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Syarik dari Simak dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas'ud radliallahu 'anhuma dari ayahnya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dua transaksi dalam satu akad. Aswad berkata; Syarik berkata; Simak berkata; Seorang laki-laki menjual barang jualan seraya mengatakan; Ia dengan kredit sekian dan sekian dan dengan tunai sekian dan sekian.

[3] Hadits yang diambil dari Musnad Ahmad dengan nomor....Lanjutkan Pembahasan


....Baca Selengkapnya