Wednesday, October 29, 2014

Kredit Syari’ah

Apa yang dimaksud dengan Kredit Syari’ah?

Terkait dengan kredit syari’ah, sebelum mengkajinya lebih jauh, tentu harus dipahami terlebih dahulu terminologi kredit. Untuk itu, berikut adalah defisinisi kredit yang dikutif dari kamus besar bahasa Indonesia.

Kredit Adalah:

“1 cara menjual barang dng pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur); 2 pinjaman uang dng pembayaran pengembalian secara mengangsur; 3 penambahan saldo rekening, sisa utang, modal, dan pendataan bagi penabung; 4 pinjaman sampai batas jumlah tertentu yg diizinkan oleh bank atau badan lain; 5 sisi kanan neraca (di Indonesia);”

Secara umum, istilah kredit bisa dipahami sebagai sebuah mekanisme pembayaran yang dilakukan secara bertahap/berangsur, baik objeknya berupa barang maupun uang. Mekanisme pembayaran seperti ini, sudah sangat lazim terjadi di masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah mekanisme pembayaran seperti ini sesuai dengan ketentuan syari’ah atau tidak? Salah satu ayat yang berkaitan dengan tema yang sedang dikaji ini ada dala QS. Al Baqarah [2] ayat 275, dalam ayat tersebut dikatakan bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Jual beli dengan riba, pada dasarnya sama. Yaitu salah satu pihak mengharapkan kelebihan dari apa yang mereka transaksikan. Akan tetapi, dalam konteks jual beli, kelebihan tersebut merupakan margin keuntungan yang diimbangi dengan usaha serta nilai manfaat dari barang yang diperjual belikan. Sedangkan dalam konteks riba, kelebihan tersebut tidak diimbangi dengan transaksi penyeimbang. Misalnya, meminjam ayam, kemudian orang yang meminjamkan ayam tersebut mensyaratkan untuk mengembalikan ayam yang dipinjam, ditambah dengan 1 ekor anak ayam. Pinjam meminjam, pada dasarnya dilakukan dalam bingkai tolong menolong. Pengembalian barang yang dipinjamkan dengan menambah syarat tertentu tidak sesuai dengan nilai yang terkandung dalam ayat di atas. Maka dari itu, mengapa jual beli itu boleh, sedangkan riba haram.
Mekanisme pembayaran dengan cara diangsur, pada dasarnya tidak ada nash yang melarangnya. Akan tetapi, pada prakteknya, ada upaya yang mengarah pada indikasi aktivitas ribawi. Contoh, ketika meminjam uang di bank, maka cicilan yang harus dibayar tiap bulan adalah akumulasi cicilan bulanan ditambah dengan bunga. Lalu mengapa dalam bank syari’ah, tambahan tersebut tidak masuk dalam kategori bunga? Padalah sama-sama ada kelebihan dari pokok pinjaman? Mari kita urai perbedaannya pada sub tema di bawah!

Perbedaan Kredit Syari’ah dengan Kredit Konvensional

Contoh 1:
A meminjam uang kepada Bank konvensional untuk membeli kendaraan roda 4 senilai 200jt, dengan bunga sebesar 1% / bulan. Pembayaran dilakukan sebanyak 36x cicilan, sesuai dengan kesepakatan.
Contoh 2:
B mengajukan pembiayaan kepada bank syari’ah untuk membeli kendaraan roda 4, dengan spesifikasi tenterntu, senilai 200jt dengan margin keuntungan 20jt. Pembayaran dilakukan sebanyak 36x cicilan.
Apa yang membedakan kedua contoh di atas? Contoh 1, bank mendapat kelebihan dana berupa % bunga. Sedangkan pada contoh 2, bank mendapat margin keuntungan sebesar 20jt. Secara kasat mata, kedua contoh di atas sama-sama mengandung unsur kelebihan dari pokok. Akan tetapi, secara syar’i, contoh pertama merupakan contoh dari aktivitas ribawi yang diharamkan Islam.  Dalam Islam, uang bukan alat komoditas. Imam al Ghazali mengatakan bahwa "uang itu seperti cermin, dia tidak memiliki warna, akan tetapi bisa merefleksikan seluruh warna. uang merupakan alat ukur, sehingga dia tidak bisa dan tidak perlu dinilai".
Contoh kedua merupakan contoh aktivitas jual beli dan dibolehkan dalam Islam. Konsekuensi dari contoh nomor 2 adalah harus ada perpindahan kepemilikan terlebih daruhu dari pihak produsen/penjual kepada pihak bank. Baru pihak bank menjual kembali kepada danasah yang mengajukan permohonan. Dalam konteks jual beli, berapapun margin keuntungan dalam sebuah transaksi, tidak dilarang selama melalui mekanisme yang sesuai dengan syari’ah, serta didasarkan pada rasa saling ridho. Dari contoh ini, maka perbedaan antara kredit syari’ah dengan kredit konvensional adalah:
1. Dalam kredit syari’ah, kelebihan didasarkan pada margin keuntungan. Sedangkan dalam kredit konvensional, didasarkan pada bunga.
2. Kredit syari’ah, berbasis pada mekanisme jual beli. Sedangkan kredit konvensional, berbasis pada bunga / riba.
3. Kredit syari’ah, yang menjadi pokok dalam transaksi adalah barang. Sedangkan dalam kredit konvensional, yang menjadi pokok transaksinya adalah jumlah uang.

Mengapa Kredit Syari’ah halal sedangkan Kredit Konvensional itu haram?

Untuk memaparkan sub judul ini, cukup dengan mengulang sedikit pemaparan yang telah diuraikan di atas. Mengapa kredit syari’ah itu halal, karena memang dalam kredit syari’ah berbasis pada model transaksi jual beli, hanya saja pembayaran dilakukan dengan cara cicilan dalam tempo tertentu. Mengapa kredit kovensional diharamkan? Karena memang dalam kredit konvensional, basis operasionalnya adalah pinjaman uang yang ditambah dengan unsur bunga. Dimana para ulama telah bersepakat bahwa bunga bank merupakan riba yang diharamkan dalam Islam.
Semoga tulisan ini bisa mengubah paradigma mengenai apa itu kredit, bagaimana kredit yang sesuai dengan syari’ah. Bagi para pembaca yang memiliki akses serta kemampuan untuk ikut mengontrol kesyari’ahan bank syari’ah, melalui tulisan ini semoga bisa memanfaatkan kemampuannya untuk menjaga bank syari’ah agar tetap syar’i.

....Baca Selengkapnya

Wednesday, October 8, 2014

Bank Syari'ah tidak Dicontohkan Rasulullah

Bismillahirrahmaanirrahim,,,,
"Bank Syari'ah tidak Dicontohkan Rasulullah"
Apakah pernyataan tersebut bisa dipertanggungjawabkan? Mari kita elaborasi! Sebelum mengkaji mengenai maksud dari pernyataan di atas, ada sebuah ilustrasi sederhana. Kemungkinan besar, kita sudah tau makanan yang dinamai siomay. Bagaimana sejarahnya? Konon, siomay berasal dari negeri tiongkok. Siomay merupakan makanan rumahan di tiongkok sana. Bahan dasar utamanya adalah daging babi. Ya, betul. Daging babi! Awal masuk ke Indonesia, siomay masih berbahan dasar daging babi. Saat itu, Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas muslim, tentu tidak dapat menerima siomay karena mengandung bahan tidak sesuai dengan syari'at Islam. Agar diterima, kemudian siomay dimodifikasi sedemikian rupa hingga akhirnya lahir siomay seperti yang kita kenal saat ini. Sekarang, siapapun bisa makan siomay. Bentuknya sama, rasanya enak, tetapi berlabel halal karena memang sudah dimodifikasi.
Bank Syari'ah tidak dicontohkan Rasulullah
Bagaimana pola perubahan dari siomay yang haram dimakan, supaya bisa dimakan?
1. Mengurai unsur-unsur yang ada dalam siomay.
2. Mengidentifikasi masing-masing unsur menggunakan alat ukur nilai-nilai Islam.
3. Substitusi unsur yang haram dengan unsur lain yang secara fungsi sama (daging babi diganti dengan ikan).
4. Membuat kembali siomay yang telah menggunakan komposisi baru, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari'ah.
Apa hubungannya siomay dengan Bank Syari'ah? Mungkin itu yang terbersit. Baik, mari kita urai satu per satu. Melalui sejarah singkat siomay "syari'ah" di atas, kita bisa mengetahui alur mengenai sebuah proses modifikasi sesuatu yang tadinya haram menjadi halal. Pola inilah yang nantinya digunakan untuk menjelaskan mengenai Bank Syari'ah yang saat ini dituding hanya pelabelan saja.
Ada 3 metode dalam proses pengembangan bank syari'ah. Adopsi, Adaptasi dan Modifikasi. Sebelum membahas 3 motode ini, kiranya peru disepakati terlebih dahulu bahwa faktanya tidak ada lembaga bank syari'ah pada zaman Rasullullah. Secara kelembagaan, tentu ini merupakan jawaban atas kegelisahan akademik mengenai pernyataan bahwa Bank Syari'ah tidak dicontohkan Rasulullah. Akan tetapi, secara fungsional, fungsi-fungsi utama lembaga bank syari'ah telah lazim berjalan pada zaman Rasulullah. Meskipun demikian, mengingat bahwa bank syari'ah merupakan wilayah kajian mu'amalah, dimana dalam hal mu'amalah ada kaidah ushuli yang menyatakan bahwa pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya. Lembaga Bank Syari'ah, boleh dilerstarikan jika didalamnya tidak ada unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah.
Kembali pada 3 metode dalam proses pengembangan bank syari'ah. Ketergantungan manusia terhadap dunia perbankan dalam konteks ekonomi modern, tentu sudah pada tahap yang bisa dikatakan sangat ketergantungan. Akan tetapi, dalam sistem perbankan mainstrean, menggunakan sistem bunga yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah. Karenanya, bagi umat Islam, haram hukumnya menggunakan jasa bank yang menggunakan sistem ribawi. Agar bisa dimanfaatkan oleh umat Islam, maka upaya yang dilakukan adalah dengan cara mengurai unsur-unsur dalam sistem perbankan modern untuk mengidentifikasi hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah. Setelah diketahui, unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah dihilangkan dan diganti dengan mekanisme yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah, hingga akhirnya lahirlah bank yang secara fungsi sama, manfaat sama, akan tetapi bebas dari unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah. Misalnya, untuk hal-hal produktif bank syari'ah memiliki produk pembiayaan berbasis bagi hasil. Untuk hal konsumtif, bank syari'ah memiliki produk pembiayaan berbasis ijarah. Serta banyak lainnya.
Kesimpulannya, betul bahwa lembaga bank syari'ah tidak dicontohkan oleh Rasulullah. Akan tetapi, bank syari'ah ini masuk wilayah kajian muamalah yang pada dasarnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah. Karenanya, tidak ada masalah dengan bank syari'ah baik secara mekanisme modern maupun secara syar'i. Dalam hal ini, sistem perbankan syari'ah merupakan sistem perbankan modern, yang telah dimodifikasi agar bisa bermanfaat bagi umat Islam, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah.

....Baca Selengkapnya

Thursday, October 2, 2014

Perbedaan Antara Lembaga Keuangan Bank Syari'ah dengan Lembaga Keuangan Bank Umum Konvensional

Setelah mengkaji mengenai lembaga keuangan bank syari'ah, mulai dari pengertian bank syari'ah yang secara umum sama, akan tetapi berbeda dalam tataran implementasi dimana bank syari'ah dibingkai dengan prinsip-prinsiP kesyari'ahan (lihat: pengertian bank syari'ah). Sejarah bank syari'ah di Indonesia yang dilihat dari pendekatan regulasi, dimana hingga saat ini, regulasi tentang bank syari'ah di Indonesia telah mencapai puncaknya, yaitu pada UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari'ah (lihat: sejarah bank syari'ah di Indonesia), fungsi bank syari'ah yang ternyata memiliki perbedaan dengan fungsi bank konvensional (baca: fungsi bank syari'ah), hingga kajian mengenai prinsip-prinsip dalam bank syari'ah yang diuraikan melalui 3 indikator utama, walaupun mungkin ada indikator lain sesuai dengan perkembangan zaman (baca: prinsip-prinsi dalam bank syari'ah), kiranya bisa ditarik benang merahnya, untuk menunjukan perbedaan antara bank syari'ah dengan bank konvensional. Berikut adalah perbedaan antara bank syari'ah dengan bank konvensional, yang didasarkan pada kajian sebelumnya:
1. Secara definitif, bank syari'ah dengan bank konvensional memiliki kesamaan. Akan tetapi, bank syari'ah memiliki keunikan pada tataran operasional, dimana harus selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syari'ah. Hal ini tentu memiliki implikasi pada keragaman produk, yang disesuaikan dengan prinsip syari'ah.
2. Dilihat dari sisi fungsi, pada dasarnya ada kesamaan antara bank syari'ah dengan bank konvensional. Akan tetapi, pada bank syari'ah memiliki kekhasan yaitu memiliki fungsi tambahan yaitu fungsi sosial, sesuai dengan yang tertera dalam UU No 21 Tahung 2008 tentang Perbankan Syari'ah.
3. Dari berbagai perbedaan yang telah dipaparkan, perbedaan utamanya yaitu terletak pada prinsip-prinsip dalam bank syari'ah. Prinsip-prinsip inilah yang secara "lahir batin" menjadi faktor utama yang membedakan antar bank konvensional dengan bank syari'ah. Selain menjadi pembeda, prinsip ini pula yang menyebabkan mengapa dalam kacamata Ekonomi Islam, bank konvensional itu haram dan bank syari'ah itu halal, terlepas dari perbedaan pendapat yang ada.
....Baca Selengkapnya

Prinsip-Prinsip dalam Lembaga Keuangan Bank Syari'ah

Dari pembahasan mengenai pengertian bank syari'ah, bisa dikatakan pada dasarnya bank syari'ah memiliki fungsi yang sama seperti halnya bank konvensional. Yang membedakannya adalah implementasi nilai-nilai syari'ah dalam operasionalnya. Dilihat dari sejarahnya, fungsi bank ternyata bersifat dinamis. Dari zaman ke zaman, sempat mengalami perubahan. Akan tetapi, dilihat dari sejarah bank syari'ah di indonesia, mungkin fungsi bank sudah sampai pada tahap yang kompleks, sehingga tidak terdapat banyak perubahan secara mendasar mengenai fungsi bank (lihat: fungsi bank syari'ah). Untuk konteks Indonesia, bisa dikatakan bahwa sejarah bank syari'ah di Indonesia lebih pada penguatan regulasi mengenai lembaga perbankan syari'ah (sumber: sejarah bank syari'ah di Indonesia).
Prinsip-Prinsip dalam Bank Syari'ah

Dalam UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari'ah dinyatakan bahwa
"bank syari'ah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah." (sumber: pengertian bank syari'ah)
Prinsip syari'ah dalam bank syari'ah merupakan pondasi utama operasional bank syari'ah. Pada dasarnya, prinsip yang melandasi dalam operasional perbankan syari'ah terdiri dari 3 poin yaitu tidak mengandung unsur maysir, gharar, dan riba. Pada dasarnya, inilah poin penting dalam sebuah tatanan sistem Ekonomi Islam.

Lembaga keuangan bank syari'ah tidak boleh mengandung unsur Maysir

Kata Maysir dalam bahasa Arab yang berarti mudah, kaya, lapang.  Jika dikaitkan dengan makna yang dimaksudkan sebenaranya, maka maysir adalah cara untuk mendapatkan uang dengan mudah; atau cara menjadi kaya dengan mudah  tanpa harus melakukan jerih payah yang lazim dilakukan secara ekonomis. Berikut ini adalah beberapa buah pikir dari beberapa pemikir Islam:
"Afdzalur rahman mendefiniskan bahwa judi adalah mendapatkan sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja"
"Imam Al-aini menyatakan bahwa maysir  adalah semua bentuk qimar  (taruhan), jika taruhan  itu tidak menggunakan uang maka hal itu merupakan perbuatan sia-sia yang tidak bermanfaat, jika menggunakan uang  atau sejenisnya  maka hal itu berarti judi : “Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang mengguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian terte"
"peraturan Bank Indonesia  No  7/46/PBI/2005 dalam penjelasan  pasal 2 ayat 3 menjelaskan bahwa  maysir  adalah  transaksi  yang mengandung perjudian, untung-untungan  atau spekulatif yang tinggi"

Lembaga keuangan bank syari'ah tidak boleh mengandung unsur Gharar

Secara bahasa, Gharar berarti risiko, ketidakpastian. Ibn Taymiyah mengatakan bahwa Gharar adalah:
"things with unknown fate, sehingga selling such things is maysir or gambling"
Sedangkan menurut ibn Qayyim, gharar merupakan:
"Mungkin ada mungkin tidak. Jual belinya dilarang karena merupakan bentuk perjudian"
Mengenai ketidak pastian, bisa diklasifikasikan menjadi 3 jenis. Risk (resiko), Structural Uncertainty (ketidakpastian struktural/terpola), dan Unknownable (tidak dapat diketahui). Dan gharar yang diharamkan masuk dalam kategori yang ketiga. Bisa dikatakan, gharar itu pure spekulasi. Contoh gharar yang terjadi pada zaman Rasulullah diantaranya jual beli hashah (melempar batu kecil), dhaebatul ghawwash (tebakan selam), nitaj (jual beli susu dalam kantung susu), mulasamah (menyentuh=membeli), muzabanah (jual beli kurma yang masih di pohon), dll.

Lembaga keuangan bank syari'ah tidak boleh mengandung unsur Riba

Secara bahasa, riba artinya tambahan, tumbuh, dan membesar. Definisi operasional riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ibnu Al Arabi Al Maliki (dalam Ahkam Al Qur’an) menyatakan bahwa:
"riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah."
Maksud transaksi penyeimbang disini adalah transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. 
Secara konvensional, transaksi simpan-pinjam dana, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Hal yang dinilai tidak adil di sini adalah si-peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Dana tidak berkembang dengan sendirinya. Sedangkan dalam mengusahakan harta, selalu ada untung dan rugi. 
....Baca Selengkapnya

Fungsi Lembaga Keuangan Bank Syari'ah

Fungsi Lembaga Keuangan Bank Syari'ah
Baik dalam artikel mengenai pengertian bank syari'ah (lihat: pengertian bank syari'ah) maupun sejarah bank syari'ah di Indonesia (lihat: sejarah bank syari'ah di Indonesia), telah disinggung mengenai fungsi lembaga keuangan bank syari'ah. Pada dasarnya, fungsi lembaga keuangan bank syari'ah adalah sebagai lembaga intermediasi yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Hal ini sesuai dengan UU No 21 Tahung 2008 tentang perbankan syari'ah, poin 1 pasal 4 pada Bab II tentang asas, tujuan dan fungsi bahwa:
"Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat"
Akan tetapi, ada fungsi lain yang membedakannya dengan bank konvensional, dimana fungsi ini tidak ada dalam reguasi tentang fungsi bank konvensional. Fungsi lain bank syari'ah adalah fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul maal, tepatnya menetrima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya untuk kemudian disalurkan melalui organisasi pengelola zakat. Penyataan ini sesuai dengan  UU No 21 Tahung 2008 tentang perbankan syari'ah, poin 2 pasal 4 pada Bab II tentang asas, tujuan dan fungsi bahwa:
"Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat."
Dalam poin berikutnya tercantum pernyataan bahwa bank syari'ah juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf. Berikut adalah pernyataannya:
"Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif)."
Dari beberapa pernyataan terkait dengan fungsi lembaga keuangan bank syari'ah, tentu sudah nampak perbedaan yang sifatnya substantif. Selain terkait dengan fungsi, masih banyak perbedaan lainnya, terutama jika dilihat dari prinsip-prinsip dalam bank syari'ah (lihat: prinsip-prinsip dalam bank syari'ah) sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam. Mari kita kaji apa saja yang membedakan antara bank syari'ah dengan bank konvensional, dilihat dari prinsip-prinsip dalam bank syari'ah pada.

....Baca Selengkapnya