Thursday, August 28, 2014

Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional? II

Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional karena pada zaman Rasul, tidak ada lembaga yang menjalankan usaha dengan pola operasional seperti Bank Syari'ah

"Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional karena pada zaman Rasul, tidak ada lembaga yang menjalankan usaha dengan pola operasional seperti Bank Syari'ah", ya betul. Pada zaman Rasulullah memang tidak ada bank syari'ah yang ada hanya baitulmaal. Akan tetapi, bukankah dalam hal mu'amalah itu pada dasarnya boleh, kecuali kalo ada nash/dalil yang melarangnya. Bank syari'ah berbeda dengan baitulmaal yang ada pada zaman Rasulullah. Sehingga keliru jika operasional bank syari'ah dinilai dengan menggunakan ukuran operasional baitulmaal yang dijalankan pada zaman Rasul. Bank syari'ah adalah produk zaman. Bank syari'ah lahir dari kompleksitas permasalahan ekonomi. Terlepas dari sejarah awalnya mucul sebuah sistem bank, bank syari'ah merupakan sistem bank yang di "re-make" dengan cara menghilangkan unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai kesyari'ahan, untuk kemudian diganti sesuai dengan nilai-nilai kesyari'ahan. Pola pengembangan bank syari'ah dimulai dengan memodifikasi produk-produk perbankan konvensional agar tidak ada unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah. Artinya, betul bahwa bank syari'ah merupakan produk zaman dan secara kelembagaan tidak ada pada zaman Rasulullah. Akan tetapi, selama unsur-unsur yang bertentangan dengan syari'ah telah dihilangkan dalam bank syari'ah, maka tidak ada masalah dengan bank syari'ah. Karena ini masuk dalam wilayah mu'amalah, dimana pada dasarnya boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya. Bank syari'ah dan baitulmaal merupakan lembaga yang berbeda, baik dari sumber-sumber inputnya, maupun mekanisme outputnya. Secara kelembagaan, bank syari'ah bisa sama-sama dijalankan.

Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional karena Margin Pembiayaan sama besar atau bahkan lebih besar daripada bunga pada Bank Konvensional.

Mekanisme dalam "mencari keuntungan" dalam bank syari'ah paling tidak ada 3 jenis, sewa (ujroh), jual beli (ba'i/buyu'), dan bagi hasil (mudharabah). Untuk mekanisme sewa dan jual beli, tentu merupakan hak "prerogatif" untuk membuka harga berapa saja, lebih murah atau lebih mahal, sebelum terjadi tawar menawar dan kesepakatan harga final. Besarannya tidak menentu. Jika margin keuntungan tersebut dikompersi dalam bentuk bunga, mungkin bisa lebih tinggi dari bunga, atau bisa jadi lebih rendah tergantung kesepakatan dengan nasabah. Dalam hal bagi hasil juga seperti itu. Mari kita kaji ilustrasi sederhana di bawah:
"A mengajukan pembiayaan untuk usaha sebesar nilai tertentu, dengan cicilan sebesar tertentu, yang kemudian disepakati nisabahnya adalah sebesar 50:50. Pada bulan pertama, A mendapat keuntungan dari usahanya sebesar Rp.1.000.000,-. Maka kewajiban A dalam mengangsur kepada bank ialah sebesar cicilan yang disepakati + Rp. 500.000,- (50%x1.000.000)."

Besar kecilnya bagi hasil yang harus dibayarkan kepada bank sangat tergantung penghasilan dari usaha yang dijalankan. Semakin besar penghasilan, maka akan semakin besar rupiah yang harus diberikan kepada bank sebagai bagi hasil. Dan begitu pula sebaliknya. Besar kecil rupiah yang dibayarkan sebagai bagi hasil kepada Bank. Mekanisme ini tidak bisa di bandingkan dengan bunga bank. Karena mengambilan nilainya berbeda. Bahkan dalam besarnya nilai bagi hasil dalam akad mudharabah, tetap lebih adil dibandingkan dengan sistem bunga karena sesuai dengan fluktuasi keuntungan usaha yang dijalankan. Kesimpulannya adalah besar kecilnya ujroh/margin/bagi hasil tidak merubah substansi dalam upaya implementasi nilai-nilai kesyari'ahan pada bank syari'ah. Pola pikir bahwa syari'ah harus lebih kecil atau lebih besar dalam konteks ini adalah keliru.


No comments:

Post a Comment