Apa yang dimaksud dengan Kredit Syari’ah?
Terkait dengan kredit syari’ah, sebelum mengkajinya lebih jauh, tentu harus dipahami terlebih dahulu terminologi kredit. Untuk itu, berikut adalah defisinisi kredit yang dikutif dari kamus besar bahasa Indonesia.
Kredit Adalah:
“1 cara menjual barang dng pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur); 2 pinjaman uang dng pembayaran pengembalian secara mengangsur; 3 penambahan saldo rekening, sisa utang, modal, dan pendataan bagi penabung; 4 pinjaman sampai batas jumlah tertentu yg diizinkan oleh bank atau badan lain; 5 sisi kanan neraca (di Indonesia);”
Secara umum, istilah kredit bisa dipahami sebagai sebuah mekanisme pembayaran yang dilakukan secara bertahap/berangsur, baik objeknya berupa barang maupun uang. Mekanisme pembayaran seperti ini, sudah sangat lazim terjadi di masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah mekanisme pembayaran seperti ini sesuai dengan ketentuan syari’ah atau tidak? Salah satu ayat yang berkaitan dengan tema yang sedang dikaji ini ada dala QS. Al Baqarah [2] ayat 275, dalam ayat tersebut dikatakan bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Jual beli dengan riba, pada dasarnya sama. Yaitu salah satu pihak mengharapkan kelebihan dari apa yang mereka transaksikan. Akan tetapi, dalam konteks jual beli, kelebihan tersebut merupakan margin keuntungan yang diimbangi dengan usaha serta nilai manfaat dari barang yang diperjual belikan. Sedangkan dalam konteks riba, kelebihan tersebut tidak diimbangi dengan transaksi penyeimbang. Misalnya, meminjam ayam, kemudian orang yang meminjamkan ayam tersebut mensyaratkan untuk mengembalikan ayam yang dipinjam, ditambah dengan 1 ekor anak ayam. Pinjam meminjam, pada dasarnya dilakukan dalam bingkai tolong menolong. Pengembalian barang yang dipinjamkan dengan menambah syarat tertentu tidak sesuai dengan nilai yang terkandung dalam ayat di atas. Maka dari itu, mengapa jual beli itu boleh, sedangkan riba haram.
Mekanisme pembayaran dengan cara diangsur, pada dasarnya tidak ada nash yang melarangnya. Akan tetapi, pada prakteknya, ada upaya yang mengarah pada indikasi aktivitas ribawi. Contoh, ketika meminjam uang di bank, maka cicilan yang harus dibayar tiap bulan adalah akumulasi cicilan bulanan ditambah dengan bunga. Lalu mengapa dalam bank syari’ah, tambahan tersebut tidak masuk dalam kategori bunga? Padalah sama-sama ada kelebihan dari pokok pinjaman? Mari kita urai perbedaannya pada sub tema di bawah!
Perbedaan Kredit Syari’ah dengan Kredit Konvensional
Contoh 1:
A meminjam uang kepada Bank konvensional untuk membeli kendaraan roda 4 senilai 200jt, dengan bunga sebesar 1% / bulan. Pembayaran dilakukan sebanyak 36x cicilan, sesuai dengan kesepakatan.
Contoh 2:
B mengajukan pembiayaan kepada bank syari’ah untuk membeli kendaraan roda 4, dengan spesifikasi tenterntu, senilai 200jt dengan margin keuntungan 20jt. Pembayaran dilakukan sebanyak 36x cicilan.
Apa yang membedakan kedua contoh di atas? Contoh 1, bank mendapat kelebihan dana berupa % bunga. Sedangkan pada contoh 2, bank mendapat margin keuntungan sebesar 20jt. Secara kasat mata, kedua contoh di atas sama-sama mengandung unsur kelebihan dari pokok. Akan tetapi, secara syar’i, contoh pertama merupakan contoh dari aktivitas ribawi yang diharamkan Islam. Dalam Islam, uang bukan alat komoditas. Imam al Ghazali mengatakan bahwa "uang itu seperti cermin, dia tidak memiliki warna, akan tetapi bisa merefleksikan seluruh warna. uang merupakan alat ukur, sehingga dia tidak bisa dan tidak perlu dinilai".
Contoh kedua merupakan contoh aktivitas jual beli dan dibolehkan dalam Islam. Konsekuensi dari contoh nomor 2 adalah harus ada perpindahan kepemilikan terlebih daruhu dari pihak produsen/penjual kepada pihak bank. Baru pihak bank menjual kembali kepada danasah yang mengajukan permohonan. Dalam konteks jual beli, berapapun margin keuntungan dalam sebuah transaksi, tidak dilarang selama melalui mekanisme yang sesuai dengan syari’ah, serta didasarkan pada rasa saling ridho. Dari contoh ini, maka perbedaan antara kredit syari’ah dengan kredit konvensional adalah:
1. Dalam kredit syari’ah, kelebihan didasarkan pada margin keuntungan. Sedangkan dalam kredit konvensional, didasarkan pada bunga.
2. Kredit syari’ah, berbasis pada mekanisme jual beli. Sedangkan kredit konvensional, berbasis pada bunga / riba.
3. Kredit syari’ah, yang menjadi pokok dalam transaksi adalah barang. Sedangkan dalam kredit konvensional, yang menjadi pokok transaksinya adalah jumlah uang.
Mengapa Kredit Syari’ah halal sedangkan Kredit Konvensional itu haram?
Untuk memaparkan sub judul ini, cukup dengan mengulang sedikit pemaparan yang telah diuraikan di atas. Mengapa kredit syari’ah itu halal, karena memang dalam kredit syari’ah berbasis pada model transaksi jual beli, hanya saja pembayaran dilakukan dengan cara cicilan dalam tempo tertentu. Mengapa kredit kovensional diharamkan? Karena memang dalam kredit konvensional, basis operasionalnya adalah pinjaman uang yang ditambah dengan unsur bunga. Dimana para ulama telah bersepakat bahwa bunga bank merupakan riba yang diharamkan dalam Islam.
Semoga tulisan ini bisa mengubah paradigma mengenai apa itu kredit, bagaimana kredit yang sesuai dengan syari’ah. Bagi para pembaca yang memiliki akses serta kemampuan untuk ikut mengontrol kesyari’ahan bank syari’ah, melalui tulisan ini semoga bisa memanfaatkan kemampuannya untuk menjaga bank syari’ah agar tetap syar’i.
....Baca Selengkapnya