Saturday, August 30, 2014

2 Akad dalam 1 Transaksi Bag.2

...Baca Tulisan Sebelumnya

[3] Hadits yang diambil dari Musnad Ahmad dengan nomor 7903.

2 Akad dalam 1 Transaksi

Musnad Ahmad 7903: Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya; dari Abu Hurairah; berkata: Rasulullah melarang dua transaksi dalam satu akad jual beli dan dua cara berpakaian; yaitu salah seorang berihtiba` (duduk di atas bokong dengan mengumpulkan kedua pahanya menempel dada) dengan satu kain sedang pada daerah kemaluannya tidak ada sesuatu yang menutupinya, dan menyelimuti badannya dengan satu kain sarungnya ketika shalat kecuali jika kedua ujungnya diserempangkan pada pundaknya. Dan Rasulullah juga melarang dari jual beli dengan sistem Al Lams (barangsiapa memengang maka wajib beli) dan An Najsy (menambah harga barang dengan tujuan untuk menipu pembeli)."

[4] Hadits yang diambil dari kitab sunan Tirmidzi dengan nomo 1152. Dalam versi lain, hadits ini terdapat dalam kitab Ahmad Syakir dengan nomor 1231. Menurut ijma’ ulama hadits (Syekh al Albani), hadits ini termasuk dalam kategori hadits shahih.

2 Akad dalam 1 Transaksi

Sunan Tirmidzi 1152: Telah menceritakan kepada kami Hannad telah menceritakan kepada kami Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang melakukan dua penjualan dalam satu kali transaksi. Dalam hal ini ada hadits serupa dari Abdullah bin Amru. Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud. Abu Isa berkata; Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih dan menjadi pedoman amal menurut para ulama. Sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka mengatakan; maksud Dua penjualan dalam satu transaksi adalah perkataan seseorang; Aku menjual pakaian ini kepadamu dengan tunai seharga sepuluh dan kredit seharga dua puluh tanpa memisahkannya atas salah satu dari dua transaksi. Jika ia memisahkannya atas salah satu dari kedua transaksi tersebut maka tidak apa-apa selama akadnya jatuh pada salah satu dari keduanya. Asy Syafi'i berkata; Termasuk makna dari larangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang dua transaksi dalam satu kali jual beli adalah perkataan seseorang; Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu, tata cara jual beli seperti ini berbeda dengan tata cara jual beli barang yang tidak diketahui harganya dan salah satu dari keduanya (penjual dan pembeli) tidak mengetahui tansaksi yang ia tujukan.

Kajian Mengenai 2 Akad dalam 1 Transaksi Berdasar pada 4 Hadits

Semua hadits di atas mengandung makna pelarangan untuk melakukan 2 akad dalam 1 transaksi. Pernyataan umum ini terdapat jelas dalam 3 hadits awal. Akan tetapi, jika kita berhenti menggali makna dari pernyataan ini, bisa jadi ketika membeli barang tertentu, kemudian kekurangan uang, hingga akhirnya pembelian dilakukan dengan pembayaran secara tunai sebagian, dan sebagian lainnya dibayarkan kemudian (hutang). Dalam transaksi ini ada 2 akad pada akhirnya. Tunai, dan hutang.
Hadits nomor 4, tepatnya hadits Sunan Tirmidzi 1152 sudah sangat lengkap. Sehingga pemaknaan kita mengenai 2 akad dalam 1 transaksi lebih kongkret dan jelas konteksnya. Dalam hadits terebut, jelas dipaparkan bahwa yang termasuk dalam kategori 2 akad dalam 1 transaksi adalah “perkataan seseorang; Aku menjual pakaian ini kepadamu dengan tunai seharga sepuluh dan kredit seharga dua puluh tanpa memisahkannya atas salah satu dari dua transaksi. Jika ia memisahkannya atas salah satu dari kedua transaksi tersebut maka tidak apa-apa selama akadnya jatuh pada salah satu dari keduanya” selain dalam konteks itu, para ulama sebagaimana yang tertera dalam hadits di atas adalah ketika seseorang berkata dalam sebuah transaksi “Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu, tata cara jual beli seperti ini berbeda dengan tata cara jual beli barang yang tidak diketahui harganya dan salah satu dari keduanya (penjual dan pembeli) tidak mengetahui tansaksi yang ia tujukan”.

Simpulan Mengenai 2 Akad dalam 1 Transaksi

Haramnya melakukan 2 akad dalam 1 transaksi jelas konteksnya, dan tidak bisa diterapkan begitu saja karena bisa keliru dan tidak mencerminkan substansinya. Substansi dari haramnya melakukan 2 akad dalam 1 transaksi berdasarkan hadits di atas adalah untuk menghindari ketidak jelasan harga. Islam sangat menghargai “kepemilikan”. Begitu juga dengan mekanisme pemindahan kepemilikan. Baik dengan jual beli, atau bahkan hibah sekalipun. Ketidakjelasan nilai/harga, berpotensi memunculkan perselisihan. Dapak negatif ini berpotensi terjadi jika kita melakukan 2 akad dalam 1 transaksi. Tulisan ini hanyalah sebuah upaya untuk mencari kejelasan mengenai nilai yang terkandung dalam pernyataan haramnya melakukan 2 akad dalam 1 transaksi, agar tidak salah kaprah dalam menerapkannya. Pemaknaan yang kami lakukan, mungkin benar mungkin juga keliru. Akan tetapi, untuk mengurangi potensi kekeliruan dalam memaknai permasalahan ini, kami telah berupaya sesuai kapasitas dengan cara mengambil sumber-sumber yang orisinil dan dapat dipertanggungjawabkan. Semoga bisa bermanfaat.

....Baca Selengkapnya

2 Akad dalam 1 Transaksi

2 Akad dalam 1 Transaksi itu Haram?

Tulisan ini hanyalah sebuah upaya untuk menjawab kegelisahan mengenai pernyataan bahwa dalam Islam, 2 Akad dalam 1 Transaksi merupakan hal yang dilarang. Atau dalam bahasa hukum Islam disebut HARAM! Pernyataa 2 Akad dalam 1 Transaksi bersifat universal, dalam arti bisa menghukumi berbagai aspek, atau tidak terbatas untuk aspek tertentu saja. Sebua bentu transaksi apapun itu, jika tergolong dalam kategori 2 Akad dalam 1 Transaksi, maka bisa jadi termasuk dalam aktivitas yang diharamkan. Dalam islam, haram mengenal paling tidak ada 2 kategori haram. Haram secara dzatiah, dan haram secara proses/mekanisme perolehannya. 2 Akad dalam 1 Transaksi merupakan sebuah mekanisme transaksi yang diharamkan dalam Islam. Dan ini termasuk dalam kategori haram secara proses/mekanisme perolehannya.
Pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud dengan 2 Akad dalam 1 Transaksi? Sumber hukum mengenai 2 Akad dalam 1 Transaksi itu apa? Sesuai dengan nash yang mengandung pemaknaan 2 Akad dalam 1 Transaksi, dalam kondisi seperti apakah 2 Akad dalam 1 Transaksi berlaku? Mari kita elaborasi lebih jauh melalui penjabaran di bawah!

Sumber Hukum 2 Akad dalam 1 Transaksi

Terkait dengan pernyataan haramnya 2 Akad dalam 1 Transaksi, paling tidak ada 4 hadits yang matannya mengarah pada pernyataan ini.

[1] Hadits yang di ambil dari kitab Sunan Abu Daud dengan nomor 3002. Dalam versi kitab Baitul Afkar ad Dauiliah, hadits ini bernomor 3461. Menurut ulama hadits (Syeikh al Albani), hadits ini termasuk dalam kategori hadits dengan derajat hasan.

2 Akad dalam 1 Transaksi

Sunan Abu Daud 3002: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dari Yahya bin Zakaria dari Muhammad bin 'Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa melakukan dua transaksi dalam satu transaksi maka baginya kekurangannya atau riba."

[2] Hadits yang di ambil dari kitab Musnad Ahmad dengan nomor 3595.

2 Akad dalam 1 Transaksi

Musnad Ahmad 3595: Telah menceritakan kepada kami Hasan dan Abu Nadlr dan Aswad bin Amir mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Syarik dari Simak dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas'ud radliallahu 'anhuma dari ayahnya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dua transaksi dalam satu akad. Aswad berkata; Syarik berkata; Simak berkata; Seorang laki-laki menjual barang jualan seraya mengatakan; Ia dengan kredit sekian dan sekian dan dengan tunai sekian dan sekian.

[3] Hadits yang diambil dari Musnad Ahmad dengan nomor....Lanjutkan Pembahasan


....Baca Selengkapnya

Halal dan Haram Itu Jelas

Pengantar tentang tema halal dan haram itu jelas

Halal dan haram itu jelas, merupakan sebuah judul yang menurut saya bisa menggambarkan tema sebuah hadits yang akan dipaparkan pada tulisan ini. Sebelum masuk pada pembahasan, saya ingin berterimakasih karena sudah berkenan meluangkan waktu sejenak untuk membaca blog Ekonomi Islam. Sebelumnya, blog ini juga telah memaparkan sebuah hadits dengan tema, yang bisa dibaca pada.
Dalam kesempatan ini, hadits yang nantinya akan dipaparkan sengaja saya sajikan apa adanya. Seluruh rowi yang meriwayatkan hadits akan disampaikan secara utuh tanpa potongan (di ringkas). Begitu pula dengan kandungan haditsnya. Kandungan hadits (matan hadits) disampaikan apa adanya. Dengan model penyampaian seperti ini, kami berharap seluruh hadits yang dibagikan melalui blog ini bisa menjadi referensi yang baik, orisinil, dan bisa dipertanggungjawabkan. Hadits ini diambil dari 9 kitab imam hadits dalam versi digital, yang didalamnya telah dikaji kekuatan dan derajat hadits, teutama dari sisi sanadnya. Sehingga bisa dipilah mana hadits yang baik digunakan sebagai referinsi dalam mencari sebuah hukum, mana hadits yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai rujukan utama dalam manggali sebuah hukum.

Hadits tentang halal dan haram itu jelas

Halal dan Haram Itu Jelas

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Zakaria dari 'Amir berkata; aku mendengar An Nu'man bin Basyir berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati".

Simpulan tentang tulisan halal dan haram itu jelas

Hadits diatas mengandung penjelasan mengenai kejelasan perkara halal dan haram. Dalam hadits tersebut juga menginformasikan bahwa ada pula perkara yang yang secara hukum berada pada posisi diantara keduanya. Perkara tersebut dinamakan dengan istilah syubhat. Apa yang dimaksud dengan syubhat? Untuk menjelaskan mengenai definisi syubhat, saya mengambil ilustrasi sebagaimana yang telah dicantumkan dalam hadits di atas. “Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya.” Melakukan perkara-perkara yang syubhat, sangat rentan terjerumus pada hal yang haram. Dalam ilustrasi tersebut diibaratkan sebagai penggembala yang menggembalakan ternaknya pada tepi jurang. Dimana, setiap saat bisa saja ternak yang digembalakan tergelincir pada jurang.
Selain masalah halal-haram-syubhat, hadits tersebut juga sering digunakan sebagai referensi yang kuat dalam menjelaskan kalbu/hati sebagai central manusia dalam hal pengambilan keputusan. “Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati”. Dari kandungan makna hadits ini, khususnya tentang kalbu, bisa ditarik benang merah bahwa manusia harus senantiasa menjaga hatinya agar selalu baik. Karena baik tidaknya sebuah ati, akan melahirkan sebuah perilaku sesuai dengan kondisi hati. Jika hatinya baik, maka perilakunya baik. Dan jika hatinya tidak terjaga, maka perilakunya juga tidak akan terjaga.
Dalam konteks ekonomi Islam, perkara halal-haram-syubhat merupakan hal mendasar. Seluruh aktivitas khususnya dalam dunia perekonomian tidak luput dari hukum ini. Pengetahuan mengenai perkara-perkara ini merupakan sebuah keharusan, agar apa yang dilakukan terutama dalam berekonomi, bisa berdampak positif dalam kehidupan dunia, serta kehidupan di akhirat nantinya. Seperti itulah seorang muslim berbuat, termasuk dalam masalah-masalah ekonomi.


Ungkapan rasa terimakasih kami sampaikan atas waktunya untuk membaca sedikit tulisan dalam blog ini. Semoga apa yang ditulis dalam blog Ekonomi Islam ini bisa bermanfaat bagi pembaca. Baik sebagai referensi untuk keperluan pendidikan, maupun sebagai bahan bacaan sehari-hari sebagai sebuah pengetahuan. Share tulisan ini karena mungkin teman juga sedang membutuhkannya.
....Baca Selengkapnya

Thursday, August 28, 2014

GWM Bank Syari'ah = GWM Bank Konvensional

Apakah GWM Bank Syari'ah = GWM Bank Konvensional?

Sama atau tidaknya perlakuan Bank Indonesia terhadap rekening GWM Bank Syari'ah dengan Bank konvensional akan menentukan sejauh mana Indonesia serius mengimplementasikan nilai-nilai syari'ah dalam sistem perbankan. Jika ternyata BI menyamaratakan perlakuan terhadap rekening GWM tersebut, itu artinya Indonesia mencampur adukkan yang hak dengan yang bathil. Jika itu terjadi, maka secara sistemik bank syari'ah telah terkontaminasi oleh sistem ribawi. Akan tetapi, jika ternyata BI melakukan perlakuan yang berbeda yang sesuai dengan landasan operasional masing-masing (berbasis syari'ah untuk rekening bank syari'ah dan bunga untuk rekening bank konvensional), maka ini berarti bahwasannya secara kelembagaan, BI sebagai bank sentral juga telah ikut serta menjaga kesyari'ahannya bank syari'ah.
Sebelum masuk pembahasan, agar tidak berbeda pemahaman kiranya perlu review kembali apa itu GWM? Singkatnya, GWM adalah rekening giro sejumlah nilai tertentu bank yang harus disimpan di BI. Penjelasan lebih lengkap mengenai GWM telah dituangkan dalam artikel berjudul "Giro Wajib Minimum (GWM) Bank Syari'ah" yang bisa dilihat pada link http://goo.gl/esFgP8.
Kembali pada pertanyaan di atas. Apakah GWM Bank Syari'ah = GWM Bank Konvensional? Ternyata tidak ada pembauran antara rekening bank syari'ah dengan bank konvensional, bahkan dengan bank konvensional yang memiliki unit usaha syari'ah. BI juga tidak menyamaratakan perlakuan rekening giro tersebut. Setiap bank memiliki rekening masing masing. Mari kita lihat tabel di bawah!
GWM Bank Syari'ah = GWM Bank Konvensional

Dari tabel di atas bisa  dipahami bahwa Bank Indonesia memberi perlakuan khusus dari sisi sistem keperbankanan. Bank berbasis bunga dibedakan dengan bank syari'ah. Sehingga kesyari'ahan bank syari'ah dalam hal ini bisa tetap terjaga, walaupun bank syari'ah menyimpan sejumlah nilai tertentu dalam rekening di Bank Indonesia.
Ada hubungan atau tidak antara bank syari'ah dengan BI, tidak menjadi penyebab tidak syari'ahnya bank syari'ah. Perlu digali lebih dalam mengenai bagaimana  bentuk hubungannya. Apakan ada unsur-unsur yang dilarang dalam syari'ah atau tidak. Jika memang tidak ada yang bertentangan dengan syari'ah, apakah perlu tetap memvonis tidak syari'ah? Justifikasi seperti ini bisa dikatakan tidak punya dasar. Selain pemahaman yang dangkal dan tidak substantif, alasannya pun tidak bisa diterima dengan akal.
Simpulan dari pembahasan mengenai GWM Bank Syari'ah = GWM Bank Konvensional adalah jelas tidak sama. Bank Indonesia memiliki perlakuan khusus sesuai dengan landasan operasional lembaga masing-masing, dalam bentuk rekeneing yang berbeda satu dengan lainnya serta kebijakan dalam memperlakukan rekening tersbut.

....Baca Selengkapnya

Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional? II

Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional karena pada zaman Rasul, tidak ada lembaga yang menjalankan usaha dengan pola operasional seperti Bank Syari'ah

"Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional karena pada zaman Rasul, tidak ada lembaga yang menjalankan usaha dengan pola operasional seperti Bank Syari'ah", ya betul. Pada zaman Rasulullah memang tidak ada bank syari'ah yang ada hanya baitulmaal. Akan tetapi, bukankah dalam hal mu'amalah itu pada dasarnya boleh, kecuali kalo ada nash/dalil yang melarangnya. Bank syari'ah berbeda dengan baitulmaal yang ada pada zaman Rasulullah. Sehingga keliru jika operasional bank syari'ah dinilai dengan menggunakan ukuran operasional baitulmaal yang dijalankan pada zaman Rasul. Bank syari'ah adalah produk zaman. Bank syari'ah lahir dari kompleksitas permasalahan ekonomi. Terlepas dari sejarah awalnya mucul sebuah sistem bank, bank syari'ah merupakan sistem bank yang di "re-make" dengan cara menghilangkan unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai kesyari'ahan, untuk kemudian diganti sesuai dengan nilai-nilai kesyari'ahan. Pola pengembangan bank syari'ah dimulai dengan memodifikasi produk-produk perbankan konvensional agar tidak ada unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah. Artinya, betul bahwa bank syari'ah merupakan produk zaman dan secara kelembagaan tidak ada pada zaman Rasulullah. Akan tetapi, selama unsur-unsur yang bertentangan dengan syari'ah telah dihilangkan dalam bank syari'ah, maka tidak ada masalah dengan bank syari'ah. Karena ini masuk dalam wilayah mu'amalah, dimana pada dasarnya boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya. Bank syari'ah dan baitulmaal merupakan lembaga yang berbeda, baik dari sumber-sumber inputnya, maupun mekanisme outputnya. Secara kelembagaan, bank syari'ah bisa sama-sama dijalankan.

Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional karena Margin Pembiayaan sama besar atau bahkan lebih besar daripada bunga pada Bank Konvensional.

Mekanisme dalam "mencari keuntungan" dalam bank syari'ah paling tidak ada 3 jenis, sewa (ujroh), jual beli (ba'i/buyu'), dan bagi hasil (mudharabah). Untuk mekanisme sewa dan jual beli, tentu merupakan hak "prerogatif" untuk membuka harga berapa saja, lebih murah atau lebih mahal, sebelum terjadi tawar menawar dan kesepakatan harga final. Besarannya tidak menentu. Jika margin keuntungan tersebut dikompersi dalam bentuk bunga, mungkin bisa lebih tinggi dari bunga, atau bisa jadi lebih rendah tergantung kesepakatan dengan nasabah. Dalam hal bagi hasil juga seperti itu. Mari kita kaji ilustrasi sederhana di bawah:
"A mengajukan pembiayaan untuk usaha sebesar nilai tertentu, dengan cicilan sebesar tertentu, yang kemudian disepakati nisabahnya adalah sebesar 50:50. Pada bulan pertama, A mendapat keuntungan dari usahanya sebesar Rp.1.000.000,-. Maka kewajiban A dalam mengangsur kepada bank ialah sebesar cicilan yang disepakati + Rp. 500.000,- (50%x1.000.000)."

Besar kecilnya bagi hasil yang harus dibayarkan kepada bank sangat tergantung penghasilan dari usaha yang dijalankan. Semakin besar penghasilan, maka akan semakin besar rupiah yang harus diberikan kepada bank sebagai bagi hasil. Dan begitu pula sebaliknya. Besar kecil rupiah yang dibayarkan sebagai bagi hasil kepada Bank. Mekanisme ini tidak bisa di bandingkan dengan bunga bank. Karena mengambilan nilainya berbeda. Bahkan dalam besarnya nilai bagi hasil dalam akad mudharabah, tetap lebih adil dibandingkan dengan sistem bunga karena sesuai dengan fluktuasi keuntungan usaha yang dijalankan. Kesimpulannya adalah besar kecilnya ujroh/margin/bagi hasil tidak merubah substansi dalam upaya implementasi nilai-nilai kesyari'ahan pada bank syari'ah. Pola pikir bahwa syari'ah harus lebih kecil atau lebih besar dalam konteks ini adalah keliru.

....Baca Selengkapnya

Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional?

Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional, apa betul?

Apa yang menjadi ukuran untuk mengetahui bahwa bank syari'ah itu sama dengan bank konvensional? Implemendasi nilai-nilai syari'ah dalam perbankan? Regulasi perbankan syari'ah? Operasional bank syari'ah yang mengacu pada nilai-nilai kesyari'ahan? Dalam kesempatan ini, saya akan curhat mengenai kegelisahan ketika melihat, mendengar, ungkapan bahwa bank syari'ah itu sama saja dengan bank konvensional. Ketika ditanya alasannya kenapa, ternyata jawabannya beragam. Ada yang menilai dari sisi regulasi, khususnya mengenai keterkaitan dengan BI. Ada juga yang melihat dari sisi sejarah, bahwa pada zaman Rasul, tidak ada lembaga yang menjalankan usaha dengan pola operasional seperti Bank Syari'ah. Ada juga yang beralasan bahwa dilihat dari sisi margin pembiayan, nisbah bagi hasil, ternyata besaran margin di bank syari'ah sama dengan bank konvensional. Bahkan tidak jarang ditemui bagi hasil dari pembiayaan yang ternyata lebih besar dari pada bank konvensional. Serta banyak alasan lainnya. Mari kita coba renungkan satu per satu.

Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional karena Bank Syari'ah di Bawah BI yang masih menggunakan sistem Bunga.

Mari kita buat ilustrasi sederhana. Misal kita berbelanja di Mini Market yang menjual berbagai macam barang, termasuk menjual Khamr (beer/minuman memabukkan). Dalam Islam, yang terkena hukum "haram" tidak hanya yang meminum. Orang yang mengantar, saksi, bahkan ketika kita menjual khamr maka kita juga berdosa karena menjualnya. Pertanyaannya adalah, apakah ketika kita membeli permen di Mini Market tersebut juga ikut berdosa? Apakah ketika kita membeli mie instan di mini market yang juga menjual minuman keras juga ikut berdosa? Pemahaman awam saya menjawab tidak. Karena yang kita beli, bukan barang yang diharamkan. Terlebih transaksi pembelian dilakukan atas dasar saling suka (mutualism), kemudian dilakukan dengan cara yang baik pula.
Kembali pada pokok permasalahan. Mari kita lihat bagaimana pola hubungan antara BI dengan Bank Syari'ah. Sebelum dilanjutkan, silahkan baca terlebih dahulu artikel "Hubungan BI dengan Bank Syari'ah" pada link: http://goo.gl/A9ErzS. Dari tulisan "Hubungan BI dengan Bank Syari'ah" tersebut, bisa dikatakan secara kelembagaan seluruh lembaga yang bergerak pada sektor moneter wajib berada dibawah naungan BI sebagai bank sentral. Apakah dengan kondisi seperti itu akan berakibat pada landasan operasional bank syari'ah? Dalam konteks ini, bisa dikatakan tidak sepenuhnya. Di indonesia, Bank syari'ah memiliki kekhasan yang sekaligus membedakannya dengan bank konvensional. Hal utama yang membedakan antara bank syari'ah dengan bank konvensional yaitu landasan operasionalnya dimana bank konvensional berbasis bunga, sedangkan bank syari'ah berbasis pada nilai-nilai kesyaria'ahan yang tentunya bertentangan dengan bunga. Dalam bahasa hukum, bunga itu haram. Oleh karenanya, landasan ini dilindungi betul oleh regulasi yang berbentuk UU khusus yang mengatur mengenai Bank Syari'ah. Untuk menjaga kesyari'ahan bank syari'ah, dalam BI juga ada pengkhususan bagi bank berbasis syari'ah, juga bagi produk-produknya. Bahkan dalam prakteknya, untuk menjaga kesyari'ahan bank syari'ah, BI memberi ruang pihak-pihak lain yang berkompetensi dalam hal hukum islam seperti Dewan Syari'ah Nasional (DSN) sebagai otoritas fatwa produk/jasa keuangan syari'ah, Badan Arbitrase Syari'ah Nasional sebagai bada penyelesaian perselisihan hukum di luar peradilan, Dewan Standar Akuntansi Keuangan Syari'ah (IAI) sebagai penetap standar akuntansi keuangan syari'ah, serta banyak lembaga lainnya yang ikut berkontribusi terhadap upaya "mengsyari'ahkan" bank syari'ah.
Masih mengenai Hubungan BI dengan Bank Syari'ah. Ada salah satu aturan mengenai Giro Wajib Minimum (lebih jelas mengenai apa itu GWM bisa dilihat pada link : http://goo.gl/esFgP8). Dimana setiap bank, termasuk bank syari'ah, wajib menyimpan rekening giro di BI. Padahal BI itu berbasis bunga, otomatis bank syari'ah pun masih mengandung unsur bunga. Apakah betul seperti itu? Jawabannya ada pada artikel "GWM Bank Syari'ah = GWM Bank Konvensional" yang bisa dilihat pada link : http://goo.gl/KJyIEy.

Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional karena pada zaman Rasul, tidak ada lembaga yang menjalankan usaha dengan pola operasional seperti Bank Syari'ah


"Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional karena pada zaman Rasul, tidak ada lembaga yang menjalankan usaha dengan pola operasional seperti.... (Bersambung,,, lanjut pada linkhttp://goo.gl/VWtLyz)
....Baca Selengkapnya

Hubungan BI dengan Bank Syari'ah

Hubungan BI dengan Bank Syari'ah

Pola pembagian tugas yang dianut di indonesia mengenai perekonomian bisa dipetakan menjadi dua sub. Sub pertama mengenai perekonomian ril, sub lainnya yaitu mengenai  perekonomian di sektor keuangan/moneter. Sub sektor ril penanggungjawab tamanya yaitu kementrian keuangan, sedangkan sub keuangan/moneter penanggung jawab utamanya yaitu Bank Indonesia. Akan tetapi, walaupun jelas pembagian tugasnya, tidak menutup kemungkinan dalam kasus tertentu bisa melibatkan keduanya. Pada kesempatan ini, yang akan dibahas ialah sub kedua yaitu BI sebagai penanggungjawab sektor moneter.
BI sebagai penanggungjawab sektor moneter tugas utamanya ialah mengatur, membina, dan mengawasi, sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syari'ah. Dalam konteks dunia perbankan syari'ah, selain ketiga fungsi tadi, BI juga memiliki kewenangan untuk membuat regulasi terkait dengan operasional bank syari'ah yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI), serta Surat Edaran BI. Baik PBI maupun Surat Edaran memiliki ketuatan yang dilindungi undang-undang, sehingga setiap keputusan yang dituangkan didalamnya bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan.
Selain yang telah dipaparkan di atas, hubungan antara BI dengan bank Syari'ah adalah BI sebagai bank sentral. Konsekuensi dari BI sebagai bank sentral seluruh bank yang ada di Indonesia, termasuk bank syari'ah, diantaranya adalah arah pengembankan bank syari'ah mengacu pada kebijakan BI. Ketika BI menargetkan uang yang beredar di masyarakat untuk dikurangi, maka seluruh bank harus ikut berpartisipasi sesuai dengan target BI, yang salah satu bentuknya dengan cara memperbanyak promosi agar banyak orang yang berkeinginan untuk menabung. Serta banyak cara lainnya. Contoh lain mengenai fungsi BI sebagai bank sentral ialah melalui GWM. Penjelasan lengkap mengenai GWM bisa dibaca pada artikel berjudul "Giro Wajib Minimum (GWM) Bank Syari'ah" yang bisa dilihat pada http://goo.gl/esFgP8. BI memiliki kebijakan yang mengikat mengenai prosentase besaran GWM. Besaran GMW yang harus disimpan di BI, wajib dipenuhi agar Bank Syari'ah memiliki kualitas likuiditas yang baik.

Hubungan BI dengan Bank Syari'ah - Simpulan

Dari paparan bisa ditarik benang merah bahwa seluruh bank yang ada di Indonesia pasti memiliki keterikatan dengan BI. BI merupakan bank sentral di Indonesia yang memiliki fungsi utama sebagai "wasit" untuk seluruh bank termasuk bank syari'ah. Dengan fungsi ini, seluruh regulasi yang dikeluarkan oleh BI bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan. Baik itu regulasi yang dituangkan dalam bentuk PBI, maupun dalam bentuk Surat Edaran.
Adapun aturan khusus mengenai Hubungan BI dengan Bank Syari'ah tertuang dalam UU No. 21 tahun 2008, dimana didalamnya disebutkan bahwa fungsi BI adalah sebagai lembaga yang mengatur, membina, dan mengawasi. Apakah dengan seluruh bentuk interaksi antara bank syari'ah dengan BI akan mempengaruhi kesyari'ahan bank syari'ah? Ada anggapan bahwa basis operasional BI adalah bunga, sehingga ketika bank syari'ah masih mengacu pada aturan BI, maka kemudian disimpulkan bahwa bank syari'ah itu sama dengan bank konvensional yang beroperasi dengan sistem bunga. Untuk membahas ini, perlu dituangkan dalam tulisan lain yang khusus menjawab kegelisahaan ini. Mari kita kaji masalah ini pada artikel dengan judul "Bank Syari'ah sama dengan Bank Konvensional?", artikel tersebut bisa dilihat pada link :http://goo.gl/TvpwBE.
....Baca Selengkapnya

Monday, August 25, 2014

Giro Wajib Minimum (GWM) Bank Syari'ah

Giro Wajib Minimum (GWM) Itu Apa?

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan Giro Wajib Minimum atau yang kemudian disingkat GWM, mari kita resapi terlebih dahulu mengenai definisi Rekening Giro dalam konteks Bank Syari'ah dengan BI sebagai Bank Sentral. 
"Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat."
Definisi tersebut diambil dari PBI (Peraturan Bank Indonesia) No. 15/16/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Syari'ah dan Unit Usaha Syari'ah. Definisi diatas bisa kita gunakan sebagai dasar untuk memahami apa yang dimaksud dengan GWM Bank Syari'ah. Yang dimaksud dengan GWM Bank Syrai'ah adalah nilai minimum rekening bank syari'ah pada Bank Indonesia yang harus dipenuhi.
Giro Wajib Minimum (GWM) Bank Syari'ah

Giro Wajib Minimum (GWM) Itu Untuk Apa?

[1] kecukupan likuiditas perbankan syariah perlu dijaga untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter.
[2] untuk mendukung stabilitas sektor keuangan dan mengantisipasi berbagai potensi risiko yang muncul dari dinamika perekonomian perlu dilakukan
penguatan likuiditas perbankan syariah dengan tetap memperhatikan peran perbankan syariah dalam menjalankan fungsi intermediasi.
Bisnis di dunia perbankan merupakan bisnis kepercayaan. Semakin dipercaya, maka semakin mudah mendapat kepercayaan untuk mengelola uang, dan secara otomatis memperbesar market share bank tersebut. Menjaga kepercayaan dari nasabah merupakan hal penting dalam dunia perbankan. Salah satu system untuk menciptakan iklim yang kondusif agar bisa menjaga kepercayaan diantaranya adalah dengan menjaga likuiditas bank. GWM merupakan regulasi yang "memaksa" bank untuk tetap memiliki kemampuan likuditas yang baik, agar bisa menjamin pencairan seluruh dana nasabah yang dipercayakan kepada bank.

Kenapa Harus Pakai Giro Wajib Minimum (GWM)?

Bayangkan, bank sebagai lembaga yang memiliki fungsi intermediasi dimana tugas utamanya menyalurkan uang dari unit surplus ke unit minus ternyata tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi hak-hak para nasabah, apa yang akan terjadi? Tentu akan menjadi masalah besar mengingat sebagian besar uang yang berputar adalah milik nasabah. Jika kewajiban bank terhadap nasabah tidak dapat dipenuhi baik itu ketika nasabah akan menarik tabungan, giro, atau deposito, kredibilitas bank tersebut dipertanyakan. Padahal belum tentu bank tersebut tidak memiliki aset, mau bangkrut dan lain sebagainya. Komposisi aset likuid (kas) yang tidak proporsional dibandingkan dengan dana pihak ketiga bisa menjadi penyebab utamanya. Walaupun aset berlimpah, keuntungan banyak, akan tetapi ketika tidak ada aset likuid untuk memenuhi permintaan nasabah, tetap saja nama baik bank yang dipertaruhkan. Dan ketika itu terjadi, bank tinggal menunggu "malaikat izrail". Untuk menhindari itu semua, manajemen likuitas bank harus benar-benar difungsikan. Dan salah satunya yaitu dalam bentuk Giro Wajib Minimum (GWM) pada Bank Indonesia.

....Baca Selengkapnya

Sunday, August 24, 2014

Problematika SDM Perbankan Syari'ah

Problematika SDM Perbankan Syari'ah?

Tidak sedikit yang menganggap bahwa bank syari'ah itu substansinya sama seperti bank konvensional. Banyak juga yang mengistilahkan bank syari'ah merupakan "anak tiri" dari bank konvensional. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa bank syari'ah merupakan wajah baru dari produk neo-kapitalis.
Perbankan syari'ah tidak hanya berbicara mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam menjalankan fungsi bank. Bank syari'ah tidak hanya berbicara mengenai pelayanan yang dimulai dengan ucapan salam, pakaian rapi dan berkerudung bagi staf perempuannya. Bank syari'ah tidak hanya berbicara mengenai istilah bunga yang dipoles serta dikemas dengan wajah syar'i.
Berbicara mengenai perbankan syari'ah, harus juga berbicara mengenai nilai-nilai Islam yang diterjemahkan dalam sebuah sistem perbankan. Berbicara perbankan syari'ah, harus juga berbicara mengenai proses eksternalisasi nilai-nilai qur'ani yang kemudian di internalisasi dalam mekanisme perbankan. Berbicara perbankan syari'ah, juga harus berbicara mengenai ketauladanan Rasulullah SAW dalam menjalankan aktivitas muamalah. Setiap mekanisme perbankan yang lahir dari nilai-nilai islam, tidak bisa lepas dari substansi nilai tersebut. Perbankan syari'ah tidak seperti bank konvensional yang ketika SOP telah dijalankan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan (regulasi), secara otomatis mekanisme yang dijalankan telah benar. Dibalik SOP yang ada dalam perbangkan syari'ah, ada nilai-nilai ukhrowi yang harus dihayati. SOP hanya merupakan alat bantu, agar kita bisa merasakan betul hikmah yang ada dalam sebuah tatanan nilai kesyari'ahan sebuah sistem lembaga keuangan publik.
Untuk mewujudkan sebuah sistem lembaga keuangan publik yang bisa mencerminkan nilai-nilai kesyari'ahan, tidak bisa selesai hanya dengan UU perbankan syari'ah, kelengkapan sarana untuk mengontrol mekanisme perbankan berbasis prinsip syari'ah seperti DSN pada tataran nasional dan DPS pada tataran wilayah. Untuk mewujudkan sebuah sistem lembaga keuangan publik berprinsip syari'ah, harus didukung oleh seluruh stakeholder. Mulai dari pemerintah sebagai penanggung jawab regulasi, DSN, pengelola, hingga masyarakat yang sadar betul akan hikmah yang terkandung dalam nilai-nilai kesyari'ahan.

Problematika SDM Perbankan Syari'ah dari Sisi Rekrutmen

Sebelum memaparkan mengenai problematika SDM Perbankan Syari'ah, mari kita amati terlebih dahulu gambar di bawah!
Problematika SDM Perbankan Syari'ah

Gambar di atas diambil dari website remsi sebuah bank syari'ah swasta, terkait dengan pengumuman lowongan kerja pada banknya. Kualifikasi seperti yang tertera di atas, tidak hanya pada satu atau dua bank saja. Bisa dikatakan hampir seluruh bank berbasis syari'ah, kualifikasinya mirip dengan apa yang tertera pada gambar di atas. Jika kita amati, kualifikasi terkait dengan latar belakang pendidikan tidak ada pengkhususan untuk SDM dengan latar belakang pendidikan Ekonomi Islam / Ekonomi Syari'ah. Padahal, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, untuk bisa melahirkan sebuah sistem lembaga keuangan publik dengan prinsip syari'ah seluruh pihak terkait harus memiliki frekuensi yang sama, karena sistem keuangan berbasis syari'ah tidak hanya menyoal SOP. SDM yang lahir dari lembaga pendidikan dengan jurusan ekonomi syari'ah pun belum tentu menguasai betul prinsip-prinsip syari'ah yang dipraktekkan dalam dunia perbankan. Apalagi SDM yang tidak dicetak untuk kemampuan seperti itu? SDM yang baik dalam perbankan syari'ah, tidak bisa lahir hanya dengan proses pendidikan singkat 1 bulan, 3 bulan, atau 6 bulan saja.
Permasalahan ini marak terjadi mungkin karena adanya ketidak percayaan dunia kerja akan lulusan jurusan yang linear dengan kebutuhan pekerjaan, atau mungkin juga karena belum semua daerah memiliki lembaga perguruan tinggi dengan jurusan ekonomi syari'ah, atau bisa juga karena budaya dunia kerja di negara ini memang terbiasa menerima SDM yang tidak sesuai antara kebutuhan pekerjaan dengan latar belakang pendidikan.
Oleh karena itu, akan lebih baik jika seluruh pihak terkait bisa segera mengevaluasi, kemudian bersinergi satu dengan lainnya, agar lulusan perguruan tinggi bisa diterima di dunia kerja sesuai dengan latar belakang pendidikan.

....Baca Selengkapnya

Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Per Propinsi

Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah secara nasional pada umumnya mengarah pada trend peningkatan yang bisa dikatakan signifikan. Penjelasan mengenai ini sudah diuraikan pada artikel "". Begitu juga dengan penjelasan mengenai peluang kerja di perbankan syariah, telah diuraikan pada artikel berjudul  "Peluang Kerja di Bank Syari'ah". Akan tetapi, daerah mana yang memberikan kontribusi yang paling signifikan terhadap perkembangan kegiatan usaha perbankan syariah secara nasional? Tentu kita harus merinci untuk kemudian dibandingkan satu dengan lainnya agar nantinya bisa diketahui propinsi mana yang memberikan kintribusi paling sigifikan, dan propinsi mana yang aktivitas perbankan syari'ahnya kurang bergairah.

Data Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Per Propinsi

Mari kita amati grafik mengenai Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Per Propinsi di bawah ini!
Grafik Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Per Propinsi

Secara regional, perkembangan perbankan syariah yang cukup pesat terjadi di sejumlah daerah. Hal tersebut tercermin dari pertumbuhan kegiatan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dan atau penyaluran pembiayaan yang cukup tinggi antara lain di beberapa propinsi di kawasan Kalimantan dan kawasan Sulawesi, Maluku dan Papua yang melebihi laju pertumbuhan secara nasional. Selain itu, beberapa daerah di kawasan Jawa-Bali juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi. Perkembangan tersebut menunjukkan peluang pengembangan perbankan syariah yang cukup besar di luar ibukota negara, meskipun DKI Jakarta dengan skala aktivitas ekonominya, tetap menjadi target utama pengembangan usaha perbankan syariah dengan pangsa DPK dan pembiayaan terhadap industri masing-masing mencapai 45,6% dan 39,9%.

....Baca Selengkapnya

Peluang Kerja di Bank Syari'ah

Peluang Kerja di Bank Syariah - sebagai pengantar

Peluang kerja di bank syariah merupakan tulisan penyemangat setelah sempat vakum menulis beberapa waktu lalu. Tulisan ini terinspirasi dari tulisan sebelumnya mengenai  pertumbuhan bank syari'ah di Indonesia. Berbicara mengenai peluang kerja, tentu tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai lembaga yang membutuhkan tenaga kerja. Dalam hal ini, lembaga yang akan kita kaji tentu lembaga perbankan syari'ah. Dalam UU perbankan syari'ah dikatakan bahwa yang dimaksud Bank Syariah adalah
"Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah."
Fokus utama yang akan kita kaji adalah lebaga keuangan yang berbasis pada prinsip syari'ah, baik itu BUS (Bank Umum Syari'ah), UUS (Unit Usaha Syari'ah), maupun KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syari'ah). Karena semuanya, merupakan bahan utama yang nantinya bisa menjadi dasar untuk melihat kebutuhan dunia kerja akan SDM yang memiliki kualifikasi kemampuan pada dunia perbankan syari'ah.

Peluang Kerja di Bank Syari'ah Berdasarkan Data Laporan Terakhir

Data yang digunakan dasar penulisan ini adalah laporan perkembangan bank syari'ah yang dipublikasikan oleh BI. Hingga saat tulisan ini disusun, laporan pertubuhan bank syari'ah yang telah dipublikasikan baru sampai pada tahun 2012. Sebelum mengkaji lebih jauh mengenai peluang kerja di bank syari'ah, mari kita amati tabel di bawah ini!
Tabel Peluang Kerja di Bank Syari'ah

Pada tahun 2012, kantor bank syari'ah secara nasional bertambah sebanyak 565 kantor dari yang mulanya sejumlah 2101 pada tahun 2011 menjadi berjumlah 2666 kantor pada tahun 2012. Pertumbuhan tersebut juga terjadi pada tahun sebelumnya. Dan bisa dikatakan, trend pertumbuhan bank syari'ah masih akan terus meningkan seiring dengan lahirnya BUS dan UUS baru.

Peluang Kerja di Bank Syari'ah - sebagai sebuah kesimpulan

Dari informasi di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa kebutuhan akan SDM yang memiliki kualifikasi untuk ditempatkan di perbankan syari'ah setiap tahun bertambah secara signifikan. Perlu diketahui bahwa prinsip ekonomi syari'ah tidak hanya diterapkan di BUS dan UUS. Prinsip ekonomi syari'ah juga dijalankan dalam KJKS seperti BMT serta koperasi lainnya yang berprinsip syari'ah. Dilihat dari regulasi pendiriannya, KJKS relatif lebih mudah untuk didirikan dibandingkan dengan BUS dan UUS. Sehingga, peluang pentumbuhannya pun relatif lebih besar dibandingkan dengan lembaga keuangan BUS dan UUS. Ini artinya, peluang kerja didunia lembaga keuangan yang berbasis syari'ah, sangat tinggi serta berindikasi akan terus bertambah seiring waktu dan permintaan pasar. Selanjutnya, mari kita kaji Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syari'ah Per Propinsi. Melalui artikel tersebut, kita bisa melihat propinsi mana yang kegiatan usaha perbankan syari'ahnya paling banyak. Untuk melihat grafik kegiatan usaha perbankan syari'ah per propinsi, silahkan baca pada artikel "Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Per Propinsi".
....Baca Selengkapnya